Catatan 5 Tahun “Raport Merah” Pendidikan Era SBY-Budiono
Post by: Admin

Catatan 5 Tahun “Raport Merah” Pendidikan Era SBY-Budiono

Mulai dari Siswa SMA Menggugat UN, Upaya Pemberangusan Organisasi Guru  sampai Pelecehan Seksual di JIS

 

Setiap 2 Mei bangsa Indonesia merayakan “Hari Pendidikan Nasional”, pada tahun 2014 ini Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bersama Yayasan Cahaya Guru (YCG) mengeluarkan hasil kajian “Catatan 5 Tahun Pendidikan Era SBY-Budiono”.  Ada 6 hal yang dipotret untuk dijadikan catatan, yaitu : (1) Menguatnya penolakan Ujian Nasional (UN); (2) Implementasi Kurikulum 2013; (3) Upaya pengebirian kebebasan berorganisasi bagi guru; (4) Kekerasan dalam pendidikan; (5) Lunturnya keragaman di sekolah-sekolah negeri; dan (6) Korupsi pendidikan.

1. Menguatnya Penolakan Ujian Nasional(UN)

Meskipun Ujian Nasional telah dinyatakan melanggar hukum, dan pemerintah telah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung, Pemerintahan SBY-Boediono justru tetap berkeras melaksanakan UN. Ketidakpatuhan terhadap putusan MA ini merupakan preseden buruk dalam kehidupan bernegara.

Pada tahun 2009, putusan Mahkamah Agung (MA) atas gugatan UN menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pemerintah sebagai pihak tergugat kalah di pengadilan dan dinyatakan lalai terhadap hak-hak anak. Sayangnya, pemerintah menjadi contoh buruk atas ketidakpatuhan pada putusan pengadilan. UN tetap diselenggarakan setiap tahun bahkan tahun 2014 makin “menggila” karena UN digunakan sebagai multi parameter dalam pendidikan, yaitu sebagai : (1) pemetaan; (2) penentu kelulusan; (3) penentu masuk PTN; dan (4) menentukan kualitas sekolah (5) menentukan kualitas guru. Satu ujian untuk mengukur semua, padahal setiap parameter seharusnya memiliki indikator yang berbeda, tak mungkin menggunakan satu alat ukur saja.

UN terbukti tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, bahkan memperburuk kultur belajar dan meruntuhkan moral para pendidik. Selama 10 tahun penyelenggaraan UN sebagai parameter pemetaan dan penentu kelulusan, ternyata yang  dijalankan  hanya parameter penentu kelulusan siswa. 

“Parameter pemetaan sekolah untuk peningkatkan kualitas sekolah sama sekali tidak terlihat dipergunakan meski klaimnya kemendikbud melaksanakan hasil pemetaan  hanya di 135 sekolah dari ratusan ribu sekolah di Indonesia. Maklum saja hasil UN selalu lulus rata-rata 98,8% sehingga wajar, sulit memetakan sekolah mana saja yang bermasalah karena hasil UN-nya bagus dan tingkat kelulusan sangat tinggi,” ujar Retno Listyarti, Sekertaris Jenderal FSGI di kantor LBH Jakarta (29/4).

Sejak 2012 sampai 2014, FSGI terus melakukan pemantauan UN melalui pembukaan posko pengaduan UN. Selama 3 tahun pemantauan, FSGI menemukan persoalan  yang sama dari penyelenggaraan UN, yaitu : (1) Maraknya penjualan kunci jawabandari tahun ke tahun dengan modus yang makin menunjukkan kecurangan yang masif; (2) Dari tahun ke tahun harga kunci jawaban semakin mahal, tahun 2013 untuk kunci jawaban 20 paket soal dari 6 mata pelajaran di bandrol dengan harga Rp 6 juta, tahun 2014 harga kunci mencapai Rp 14 juta; (3) Makin maraknya tim sukses dari pihak sekolah yang membagi jawaban ke para  siswanya dengan cara mengumpulkan siswa di jam 5 pagi, menuliskan di tissu, pura-pura merazia handphone saat 30 menit lagi ujian selesai, menarik hp tapi sambil memberikan kunci jawaban. Pola ini kebanyakan dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta;  (4) Adanya tim sukses dinas pendidikan, dimana kepala sekolah dibagikan kunci jawaban  saat mengambil soal di rayon pada pagi buta. (5) Munculnya masalah teknis setiap tahun seperti, kualitas LJKUN yang rendah sehingga mudah sobek saat dihapus, kekurangan soal beberapa mata pelajaran hampir di seluruh wilayah pantauan, masuknya soal pada amplop yang salah, tercampurnya soal ujian biologi dengan geografi, juga soal kimia dan fisika padahal beda hari ujiannya, pelanggaran terhadap tata tertib pengawas, dan lain-lain. Paling parah pada penyelenggaran UN 2013 yang mengalami keterlambatan di ;  (6) Biaya penyelenggaraan UN yang berasal dari APBN terlalu kecil, tak berimbang dengan pengeluaran yang harus ditanggung sekolah. Selain itu, dana UN ini juga selalu terlambat diterima sekolah, tahun 2014 banyak kepala sekolah  harus menalangi honor pengawas silang dari kocek pribadi; (7) Soal UN 2014 melenceng dari kisi-kisi soal yang dibuat Kemdikbud, sehingga para siswa mengalami kesulitan. Bahkan ada soal statistika yang merupakan soal mahasiswa semester 5. Patut diduga bahwa soal UN yang dibuat oleh kalangan pendidikan tinggi ini ternyata tidak melalui pengujian soal yang benar, padahal UN dijadikan multiparameter tapi alat ukurnya justru tidak valid.

Tahun 2014, laporan  sindikat  penjual kunci jawaban  terbanyak, yaitu mencapai 30%  pelapor. Pelapor juga banyak dari kalangan siswa sendiri yang rajin belajar dan merasa dirugikan dengan ulah sindikat ini. Seiring dengan berjalannya UN, selama 3 hari FSGI juga memperoleh kiriman bukti bocornya jawaban UN, kunci jawaban 20 paket soal untuk beberapa mata pelajaran pun masuk ke posko pengaduan FSGI, dilampirkan foto soal (hanya halaman 1).  Hal ini menunjukkan bahwa  kecurangan UN sudah masif  dan sistemik. Tahun 2014 memperlihatkan wajah bopeng UN yang semakin kelam dan makin mengorbankan anak didik. Para siswa yang tertangkap mendapatkan kunci jawaban dan menyontek mengalami pembatalan kelulusannya, bahkan akan dipidanakan.

“Para pelaku pembocor jawaban UN tidak pernah diusut tuntas sampai ke aktor intelectual di balik kebocoran ini. Anak-anak ini memang salah, tapi mereka adalah pelaku sekaligus korban dari sistem yang tidak adil dalam pendidikan kita. Jadi seharusnya mereka  diuji ulang bukan dihukum,” ujar Retno

Tahun 2014 juga menjadi tahun gugatan anak-anak SMA terhadap kebijakan mendikbud. Mereka menggugat dengan cara dan gayanya anak muda, mereka gunakan dunia maya. Ini dimulai dengan dikirimnya surat terbuka untuk Mendikbud oleh seorang peserta UN dari SMA Khadijah Surabaya bernama Nurmillaty Abadiah yang ditulis dengan sangat cerdas dan mengalir, sayangnya Mendikbud menanggapinya dengan “dingin” dan merasa tak percaya bahwa surat terbuka itu benar-benar dibuat oleh siswa SMA. Akibat sikap yang dianggap “arogan” oleh masyarakat maka mengalir begitu banyak komentar dukungan bagi Nurmillaty, di antaranya: "Bapak kurang membaca buku atau kalo dikantor kerjaannya minum kopi, nonton Infotaiment atau mungkin bapak nonton Dora the Explorer?"  Karena kerjaannya cuma ngasih pertanyaan dan pernyataan bukan jawaban yang valid?Twiter M. Nuh diserang anak-anak SMA sampai dinonaktifkan.

2. Implementasi Kurikulum 2013

Pemerintahan SBY-Boediono semakin mengukuhkan pemeo, “ganti menteri ganti kurikulum”. Sebenarnya, penggantian Kurikulum merupakan sesuatu yang wajar mengingat zaman semakin berubah. Namun, Kurikulum 2013 sejak awal kemunculannya ke publik sudah melahirkan debat dan polemik di kalangan akademisi dan praktisi pendidikan. Sayangnya, polemik dan diskusi publik yang dilakukan akademisi dan praktisi tidak mendapatkan tanggapan dari Pemerintah. Pemerintah tetap keras kepala dengan desain kebijakan yang dibuatnya sehingga sosialisasi sekedar menjadi ajang formalitas yang tidak berguna.

“Sikap ketidakpedulian terhadap masukan dan suara masyarakat terhadap usulan kebijakan kurikulum menunjukkan bahwa pemerintahan SBY-Boediono lebih mengedepankan arogansi kekuasaan daripada dialog yang dewasa dan demokratis,” ujar Dewan Penasihat FSGI, Doni Koesoema A.

Lebih lagi, pergantian kurikulum ini sangat dipaksakan, terjadi begitu mendadak, tanpa evaluasi menyeluruh atas kurikulum sebelumnya, dan dipersiapkan dengan tidak matang (tidak tuntas) baik dari segi peraturan perundang-undangan, konsep dasar, isi materi dalam kurikulum, buku, pelatihan guru, dan sistem evaluasi, serta dampak-dampak perubahan kurikulum bagi para guru (TIK) serta konsekuensi terhadap penerimaan tunjangan sertifikasi guru terkait kekurangan jam mengajar yang diakibatkan oleh Kurikulum 2013.

Ketidaksiapan ini pada akhirnya melahirkan berbagai macam ketidakberesan dalam penerapan, mulai dari penyediaan buku, pelatihan guru, uji coba terbatas, dan sistem evaluasi yang semakin membingungkan guru. Ini semua pada akhirnya merugikan para siswa. Mereka menjadi semacam kelinci percobaan perubahan kurikulum yang digagas dengan tidak matang.

Bisa dikatakan, hanya dalam pemerintahan SBY-Boediono-lah terjadi perubahan kurikulum yang tidak dipersiapkan dengan baik. Akibatnya, muncul persoalan hukum, di mana peraturan tentang SNP belum diubah, sementara sosialisasi sudah dijalankan, sedangkan perubahan PP selanjutnya hanyalah legitimasi dari apa yang sudah dilakukan. Kurikulum ini sejak dicanangkan telah menuai protes dan kritik karena desain yang dibuat tidak transparan, uji publik yang dilakukan sekedar formalitas, naskah akdemis tidak dipublikasikan sejak awal sosialisasi, dan banyaknya perubahan yang terjadi menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 tidak dipersiapkan dengan matang.

Ketidaksiapan dalam desain awal membuat banyak sisi penerapan Kurikulum 2013 bermasalah. Bahkan dalam kunjungannya ke lapangan Wakil Presiden Boediono pun menemukan banyak ketidakberesan. Ketidakberesan yang muncul antara lain, : (1) “terpaksanya” Kemdikbud menurunkan target implementasi, yang semula 30 persen dari total sekolah menjadi 2 persen (6.213 sekolah) saja; (2) minimnya sosialisasi mengenai konsep kurikulum baru yang sekedar formalitas; (3) kualitas buku diktat dan keterlambatan percekatan serta distribusi ke sekolah-sekolah; (4) Keterlambatan pengadaan buku berdampak tertundanya pelatihan guru karena buku itulah yang menjadi salah satu materi pelatihan; (5) pada tingkat implementasi, banyak guru, bingung saat menerapkan Kurikulum 2013 di kelas, guru pendamping yang dijanjikan hadir di kelas-kelas ternyata baru hadir pada november 2013, molor 3 bulan; (6) terjadi kekurangan buku di sekolah sasaran yang ditunjuk. Bahkan ada sekolah sasaran yang sama sekali tidak mendapatkan buku Kurikulum 2013 sampai November 2013, misalnya 3 sekolah dasar (SD) di wilayah Ciputat (Banten). Sebuah SMP di Depok (Jawa Barat) yang menjadi sekolah sasaran hanya mendapatkan 8 buku mata pelajaran IPA, padahal jumlah muridnya 100 orang. Di berbagai SMA di DKI Jakarta yang merupakan sekolah sasaran juga kekurangan buku dengan jumlah antara 40 – 80 buku untuk 3 mata pelajaran; (7) Sejumlah masalah penilaian dan pengisian buku rapor. Hal itu terjadi karena adanya perubahan model penilaian, tapi perubahannya tidak diberikan pada saat pelatihan. Format rapor juga sangat terlambat diterima pihak sekolah. Akhirnya sejumlah sekolah sasaran di Jakarta memutuskan menunda pembagian rapor kelas X, seperti terjadi di SMAN  13, SMAN 41, SMAN 100, dll. Sistem penilaian yang tidak dipersiapkan dan disosialisasikan dengan baik, bahkan secara faktual sulit dilakukan oleh guru akhirnya membuat guru sekedar memenuhi prosedur penilaian semata.

“Kurikulum 2013 telah mengorbankan guru, siswa, dan sekolah sebagai kelinci percobaan untuk sebuah konsep kurikulum yang keunggulannya belum pernah diujicobakan. Dunia pendidikan kita berhadapan dengan pemegang kekuasaan yang gemar berjudi dengan nasib anak-anak bangsa, dengan menerapkan sebuah perubahan Kurikulum yang mempertaruhkan masa depan pendidikan nasional kita,” simpul Doni Koesoema A.

3. Upaya Pemberangusan Organisasi Guru

Pemerintah, melalui revisi PP 74/2008, berusaha memberangus keberadaan organisasi guru dengan mempersyaratkan aturan-aturan yang merugikan organisasi guru independen di luar PGRI. Persyaratan tentang jumlah anggota dan pengurus organisasi guru pada pasal 44 ayat (3)

 Berpotensi melanggar hak berserikat bagi guru. “FSGI, FGII, PGSI dan IGI menduga Kemendikbud di bawah tekanan  kepentingan pihak tertentu yang sangat diuntungkan jika pasal 44 ayat (3) diloloskan,” ujar Guntur Ismail, Presidium FSGI.

Keberadaan organisasi guru di luar PGRI dijamin dan diatur dalam Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) sebagaimana diamanatkan dalam pasal 14 butir (h) yang menyatakan bahwa guru berhak memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi guru. UU tersebut juga mengamanatkan guru untuk  wajib berorganisasi  dan bebas memilih organisasi guru. Pasal ini sekaligus menunjukkan bahwa organisasi guru tidak tunggal.

Selama ini, pemerintah memang memang ceenderung diskriminatif dalam memperlakukan organisasi guru.  Padahal seharusnya Pemerintah  berlaku adil terhadap organisasi guru yang ada, karena selama ini pemerintah propinsi maupun pemerintah pusat cenderung diskriminatif. Pemerintah masih meng-anakemas-kan PGRI bahkan cenderung melakukan PGRI-nisasi. Misalnya saja, PGRI-nisasi terjadi pada penempatan orang-orang PGRI dalam BPSDM-PMP Kemendikbud. Sementara revisi PP 74/2008 diduga muncul dari badan tersebut. Selain itu, Anggaran APBD beberapa daerah hanya mengalokasikan dana untuk PGRI tetapi tidak untuk organisasi guru yang lain.  Hal ini muncul karena banyak birokrasi pendidikan di berbagai daerah adalah pengurus PGRI.

Kenyataan tersebut menyalahi ketentuan Pasal 39 (3) UU No. 14 tahun 2005 yang menyatakan bahwa  guru berhak mendapat perlindungan hukum dari tindakan diskriminatif, kekerasan, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi atau pihak lainnya. Juga tak sejalan dengan ketentuan pada pasal 7 ayat (2) pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen yang harus diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa dan kode etik profesi.

Ketika perlakuan pemerintah masih diskriminatif dan pada saat yang sama birokrasi pendidikan di berbagai daerah didominasi oleh pengurus PGRI, apakah masih ada ruang kebebasan guru dalam memilih organisasi guru sesuai nuraninya? Apakah ketika ruang kebebasan berorganisasi bagi guru dibatasi akan membuat organisasi guru yang baru muncul pasca UU guru dan Dosen akan dapat memenuhi persyaratan keanggotaan sebagaimana disyaratkan pada pasal 44 ayat (3) revisi PP 74/2008, yaitu 25% anggota di setiap kabupaten kota/kota dan 75% pengurus secara nasional? Ini sama artinya hanya PGRI saja yang bisa memenuhi ketentuan tersebut.

Upaya pemerintah merevisi pasal 44 yat (3) PP 74/2008 tersebut justru memperlemah perkembangan upaya menjadikan guru sebagai warga negara yang merdeka. “Mestinya pemerintah menegakkan dulu amanat UUGD pasal 1 butir 13 yang mensyaratkan bahwa organisasi profesi guru  harus dibentuk dan diurus oleh guru. Kenyataannya banyak organisasi profesi guru tertua justru tidak diurus dan dipimpin oleh guru. Hal ini jelas-jelas melanggar undang-undang. Ini tidak ditegakkan malah merevisi pasal yang mengancam pemberangusan organisasi-organisasi guru selain PGRI,” sambung Guntur Ismail.

Jika organisasi guru tidak diurus para guru maka organisasi guru menjadi tidak independen dan mandiri, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 41 (1) yang menyebutkan bahwa guru dapat membentuk organisai profesi yang bersifat independen. Organisasi guru semestinya secara politis mampu mendorong dan mempengaruhi kebijakan pendidikan, baik level daerah maupun nasional. UUGD memungkinkan guru berpartisipasi aktif mempengaruhi kebijakan mulai dari tingkat sekolah (satuan pendidikan) sampai tingkat nasional.  Guru bahkan wajib dilibatkan dalam berbagai kebijakan pendidikansebagaimana diamanatkan dalam UU No.14/2005 yaitu pasal 14 ayat 1 butir 1 yang menyatakan bahwa “memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan”.        

Jika organisasi guru didorong berkembang secara adil, maka  organisasi guru akan kuat dan independen sehingga  dapat mendorong para anggota menjadi guru yang pembelajar, guru yang profesianal, dan guru yang kritis. Guru dan organisasi guru secara aktif  dapat berpartisipasi dalam mendorong dan mempngaruhi berbagai kebijakan pendidikan, terutama kebijakan pendidikan yang berorientasi peningkatan mutu dan pendidikan yang berkeadilan. Hanya pemprov DKI Jakarta saja yang nyata-nyata memberikan ruang yang sama bagi organisasi guru untuk ikut mempengaruhi kebijakan pendidikan di Jakarta.

4. Kekerasan Dalam Pendidikan

Pemerintahan SBY-Boediono selama 2009-2014 ditandai dengan banyaknya nyawa tunas bangsa yang sia-sia, karena kasus kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi di lingkungan pendidikan, baik berupa tawuran pelajar dan mahasiswa, kekerasan oleh guru, karyawan, dan antar siswa/mahasiswa.

“Kasus kejahatan seksual di Jakarta Internasional School (JIS) dan meninggalnya mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda Dimas Dikita Handoko (19), adalah fakta terbaru betapa kekerasan dalam pendidikan senantiasa mengancam masa depan dan kehidupan anak-anak kita, bahkan di tempat yang kita andaikan memiliki kualitas pendidikan dan standard keamanan yang baik” ujar Doni Koesoema A, Dewan Pertimbangan FSGI.

Padahal, kekerasan di kampus, yang merenggut jiwa muda generasi bangsa, seperti meninggalnya searang mahasiswa baru di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran ISTIP), Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Jawa Timur, pada saat ospek, kasus meninggalnya siswa SMAN 6 akibat tawuran dengan SMAN 70 Jakarta dan penggunaan air keras ketika tawuran oleh sejumlah siswa SMK di Jakarta masih segar dalam ingatan kita.

“Banyaknya tunas muda bangsa  yang meninggal sia-sia dalam tawuran, kegiatan MOS, Ospek, dan kegiatan sekolah lain menunjukkan bahwa pemerintahan SBY-Boediono telah gagal melaksanakan amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 28 ayat 2 yang menyatakan bahwa ‘Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’”, sambung Doni. “Gejala buruk lainnya adalah fenomena Ospek juga mulai terjadi di pendidikan tingkat menengah dan dasar,” sambungnya.

Selain gagal melaksanakan amanat UUD 1945 pasal 28 ayat 2, Pemerintahan SBY-Boediono juga gagal mengemban amanat Undang-Undang Nomor 2003 tahun 2002 tentang perlindungan anak, khususnya pasal 54 yang mengamanatkan pemerintah bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya”.

KPAI menemukan bahwa pada tahun 2011 terdapat 139 kasus tawuran dengan korban 39 meninggal. Pada 2012, terdapat 147 tawuran dengan korban tewas 82. Ini belum termasuk puluhan yang luka-luka baik luka berat maupun ringan. Di Jakarta saja, pada 2013 angka tawuran mencapai 112 kasus dengan korban tewas 20 pelajar Indonesia.  Dari jumlah tersebut, 12 di antaranya merupakan pelajar Jakarta.

Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2012 sangatlah mengejutkan. Dari 1026 responden anak (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA) yang tersebar di 9 provinsi, 87,6% responden anak mengaku mengalami tindak  kekerasan di lingkungan sekolah. Sebanyak 66,5  persen total responden atau 628 anak pernah mengalami kekera­san yang dilakukan guru, 74,8 persen 767 anak pernah menga­lami kekerasan yang dilakukan te­man sekelas (74,8 %), dan se­banyak 578 anak pernah menga­la­mi kekerasan yang dilakukan teman lain kelas (56,3 %).

Data-data di atas hanyalah sekilas potret gambaran kekerasan dalam pendidikan yang ditemukan atau dilaporkan kepada KPAI. Masih ada banyak kekerasan dalam pendidikan yang tidak terdata, namun banyak ditemukan dalam liputan dan laporan di media.

Pemerintah melalui Kemdikbud harusnya dapat mengurangi dan menghilangkan kekerasan di lingkungan pendidikan dengan membuat kebijakan pendidikan yang memprioritaskan pembentukan standar keamanan dan kenyamanan di lingkungan sekolah melalui regulasi yang ketat dengan sanksi yang konsisten dan ketat mulai dari penurunan nilai akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin operasional lembaga pendidikan bila tetap membiarkan terjadinya perilaku kekerasan dan tindak amoral di sekolah. Pencopotan jabatan kepala sekolah, kepala dinas, rektor, dll, akan memunculkan tanggungjawab dan keseriusan mereka dalam mengelola pendidikan.

“Pemerintah perlu mengadakan kajian yang tuntas disertai kebijakan pendidikan yang komprehensif agar kekerasan dalam lingkungan pendidikan yang mengorbankan nyawa anak-anak bangsa tidak terjadi lagi,” ujar Doni Koesoema A.

5. Lunturnya keragaman di sekolah-sekolah (Negeri)

Keragaman merupakan hakekat kehidupan berbangsa sebagai tercermin dalam moto Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, semangat keragaman sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup bangsa ini. Saat ini terdapat, 132,513 tingkat SDN, 15,024 SMPN dan 4,493 SMAN, yang merupakan 84% total sekolah di Indonesia. Karena itu, sekolah negeri merupakan kekuatan besar untuk menyemai wawasan keragaman. Sekolah negeri seharusnya merepresentasikan heterogenitas atau kebhinekaan masyarakat Indonesia.

Sekolah negeri memiliki potensi luar biasa untuk menjadi penyemai keragaman,” ujar Henny Supolo Sitepu, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru.

Sayangnya, persoalan tentang keragaman ini selama pemerintahan SBY-Boediono tidak dikelola dengan serius dan konsisten, sehingga benih keragaman yang mestinya muncul di kalangan anak-anak Indonesia tidak terjadi. Dari segi kurikulum, tema tentang keragaman tidak banyak dibahas dan didiskusikan. Bahkan, terjadi kecenderungan untuk melakukan kegiatan sekolah dengan mendasarkan diri pada ketentuan agama mayoritas, misalnya, ada kegiatan tadarusan sebelum pelajaran dimulai, doa-doa dalam agama mayoritas, dan ketentuan seragam.

Hal-hal yang sangat memengaruhi pengembangan wawasan keragaman anak, tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Bahkan pemerintah cenderung membiarkan semua  ini terjadi. Pembiaran yang dilakukan terasa lebih tajam saat Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) mengungkapkan hasil penelitiannya terhadap 100 SMP dan SMA di Jakarta dan sekitarnya, yang menemukan bahwa, pemahaman radikal dan anti keragaman masuk dalam diri siswa melalui kegiatan Kerohanian Islam (Rohis). Selain itu, LaKIP juga menemukan bahwa 48,9 persen responden setuju terhadap aksi kekerasan atas nama agama dan moral. Yang paling memprihatinkan, ada 590 guru agama, atau 28,2 persen responden menyatakan setuju terhadap aksi kekerasan atas nama agama.

Tidak adanya respon pemerintah terhadap riset LaKIP dapat ditangkap sebagai tanda kelemahan pemerintah, atau bahkan persetujuan perilaku kekerasan selama dilakukan atas nama agama.

“Kurikulum tersembunyi yang dilakukan oleh KEMNDIKBUD dalam pembiaran tersebut di atas adalah persetujuan terhadap seluruh kegiatan yang merugikan perspektif keragaman,” ujar Henny Supolo.

Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Cahaya Guru terhadap 69 sekolah negeri, yang semuanya terlihat memakai seragam khas agama mayoritas, dalam kenyataannya mendapatkan jawaban yang menunjukkan kemungkinan penyangkalan atau ketidakpedulian, misalnya, hampir semua responden menyatakan bahwa seragam siswa dan guru tidak mengacu pada tata cara agama tertentu. Demikian juga ketika ditanya tentang kegiatan terkait dengan keragaman, hampir semua responden menjawab bahwa mereka memiliki kegiatan keragaman, namun tidak dapat mengungkapkan jenis kegiatan yang dilakukan.

Gejala lain yang memprihatinkan kami temukan dalam pelatihan kelompok kecil tentang kebhinnekaan, kemanusiaan dan pendidikan agama yang lapang adalah adanya guru-guru yang menolak menyanyikan lagi Indonesia Raya dan upacara bendera, menyetujui kekerasan atas nama pembelaan agama, serta menolak bermain peran saat berperan sebagai kelompok minoritas/yang berbeda.

Dengan mudah, kita bisa menemukan berbagai macam pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap situasi di atas. Padahal, siswa lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat, sedangkan guru-guru dan Kepala Sekolah merupakan agen perubahan yang diharapkan dapat mengembangkan siswa sesuai dengan semangat kebangsaan dan keragaman.

 “Ketidakpedulian terhadap isu keragaman merupakan bukti ketidakpedulian terhadap masa depan bangsa,”simpul Henny Supolo.

6. Korupsi Pendidikan

Dugaan korupsi pendidikan pada tahun 2013 di Kemendikbud muncul saat terjadi keterlambatan percetakan soal UN di 11 propinsi. Saat itu, Inspektorat Kemdikbud mencium adanya indikasi korupsi pada penyelenggaraan UN 2013, terutama terkait tender percetakan soal. “Sayangnya para pejabat yang berwenang sama sekali tidak diberi sanksi. Padahal ada 3 pejabat yang oleh inspektorat di rekomendasi untuk dicopot,” ujar Retno Listyarti. “Tidak adanya penegakan hukum di tubuh kemdikbud membuat masyarakat ragu bahwa korupsi pendidikan akan bisa diberantas. Padahal, mustahil bicara kualitas pendidikan  selama korupsi pendidikan tidak ditindak tegas,” sambungnya. 

Setelah peristiwa geger UN 2013, di Kemdikbud muncul adanya dugaan korupsi pada penggunaan anggaran dibawah pengelolaan wakil menteri bidang kebudayaan, bahkan temuan inspektorat ini kemudian dilaporkan ke KPK, namun sampai saat ini kasusnya belum juga  menunjukkan perkembangan berarti, padahal jabatan sang wamendikbud tinggal beberapa bulan lagi.

Selain itu, banyak program pemerintah di bidang pendidikan yang juga rawan korupsi, misalnya penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), penyaluran Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP), penerimaan peserta didik baru (PPDB), dan lain-lain.

Untuk beasiswa dan dukungan pembiayaan pendidikan siswa secara perorangan seperti, BSM (APBN) dan KJP (APBD) diperlukan adanyaperbaikan sistem dan mekanisme penerima KJP maupun BSM agar terserap sempurna dam tepat sasaran. Mekanismenya harus melibatkan pihak sekolah meskipun pengusulnya boleh dari manapun, di perlukan keterbukaan dan rekruitmen penerima dan diperkut dengan home visit. Kalau sistemnya dibangun secara baik maka siapapun yang mengajukan kalau tidak sesuai kriteria pasti akan di tolak oleh sistem.

Perbaikan sistem juga diperlukan dalam pengelolaan BOS di seluruh Indonesia mengingat banyak sekali kasus penyimpangan penggunaan dana BOS di berbagai sekolah, bahkan sampai ke pengadilan. Misalnya saja, Kepala SMP Negeri 8 Tebing Tinggi, Drs. MZP  (57), warga Gang Bukit Cermin Lingkungan I Kota Tebing Tinggi, diadili terkait dugaan penyalahgunaan Dana BOS Tahun 2009 sebesar Rp. 369 juta; penyalahgunaan dana BOS terjadi di Karangasem, di SD N 1 Kesimpar, Abang, Karangasem tahun 2011. Pada kasus ini hampir semua perangkat sekolah terlibat. Mulai dari Kepala Sekolah, para Guru hingga penjaga sekolah. Mencuatnya kasus korupsi dana BOS di SD N 1 Kesimpar, setelah ketua Komite SD N 1 Kesimpar Nengah Astawa melaporkan secara resmi kasusnya ke Kejaksaan Negeri Amlapura. Hal itu menyusul tewasnya penjaga SD Wayan Teso, akibat gantung diri, karena tidak sanggup mengembalikan uang dari dana BOS yang dipinjamnya sekitar Rp 11 juta meski sudah jatuh tempo pengembalian; dugaan penyimpangan penggunaandana BOS oleh Rosita Harianja, Kepsek SD Negeri 067269 Medan, Kecamatan Medan Labuhan, Sumatera Utara sebesar Rp 271 juta.; Pada Mei 2013, 5 Guru SMPN 31 Makassar melaporkan Kepala Sekolah SMPN 31 ke Kejaksaan Negeri Makassar atas tuduhan menyalahgunakan dana Bantuan Operasonal Sekolah (BOS). Total dana BOS yang harusnya digunakan untuk pembelian buku yakni Rp160 juta. Namun, terdapat Rp13 juta lebih tidak diketahui di mana bukunya. Perbaikan sistem sangat mendesak diperlukan untuk para kepala sekolah SD, karena mereka tidak memiliki tata usaha (TU).

“Bila dunia pendidikan pun sudah dicemari oleh perilaku korupsi, maka kita semua boleh khawatir akan masa depan anak-anak kita bersama,” simpul Retno Listyarti.

Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.