09
Oct 2023
GURU EMPATI
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 

Guru Empati

Oleh: Muhamad Dhofier

Empati merupakan kehendak untuk turut berbela rasa atas apa yang orang lain alami. Empati juga tentang kedalaman batin yang jernih. Tak terbatas pada tindakan ikut menyumbang saat ada bencana atau turun ke jalan untuk memprotes kebijakan yang tak adil. Lebih dari itu, empati adalah beningnya hati dan tenangnya pikiran. Dalam kondisi hati yang sejuk, penerimaan atas diri terasa sangat menggetarkan. Di sanalah kemudian, kelapangan jiwa menyambut kehadiran orang lain dengan segala rumbai perbedaan berlangsung damai dalam sanubari.

Segala peristiwa, baik atau buruk tak lain merupakan buah bagaimana pikiran mengambil perspektif, kemudian mewujud dalam tindakan. Saat pikiran kalut dan muncul muslihat di kepala, saat itu pula, diri terancam oleh bahaya. Tampaknya seperti berasal dari luar, padahal keburukan yang menimpa selalu bertolak dari pijakan sudut pandang yang tak sesuai. Momen ini juga, bisa berakibat hilangnya rasa untuk peduli kepada orang lain. Kuncuplah daya empati yang sejatinya kokoh bertunas dalam diri kita sejak lahir.

Manusia lahir dibekali dengan emosi negatif maupun positif. Keduanya merupakan potensi alamiah. Eksis di dalam diri dan akan menghiasi warna-warni kehidupan seorang anak manusia. Meski begitu, fitrah kebaikan sesungguhnya lebih dominan ketimbang potensi kejelekan. Dalam ajaran Islam misalnya, ruh kita telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan yang wajib disembah. Ketika ruh itu ditiupkan ke dalam jasad, ada peran Tuhan yang menunjukkan bahwa sejatinya fitrah kita senantiasa pada kebajikan bukan kejahatan.

Realita kehidupan menghamparkan banyak sekali pilihan. Manusia boleh memakai kehendak bebasnya. Berlaku arif atau berbuat cela, merupakan pilihan kesadaran setiap individu dengan konsekuensi yang melekat pada setiap pilihan tindakan. Memberi keadilan atau mencurangi orang lain sudah pasti ada dampak yang sedang menanti setelahnya. Buah kebaikan akan kita petik jika kita berbuat adil tapi racun kepahitan harus kita telan bila kecurangan berhasil memperdaya nurani.

Alhasil, sikap empatik lahir dari jiwa yang bening. Ketika penerimaan atas diri telah selesai, maka memandang orang lain laiknya mencintai diri sendiri. Dalam konteks pendidikan, empati merupakan salah satu tiang pancang yang akan memperkokoh bangunan karakter pada siswa. Untuk itu, pendidikan empati menempati urutan prioritas dibanding penguasaan materi pelajaran.

Dalam hal demikian, guru semestinya berlimpah cinta. Guru cinta sudah pasti mereka yang membekali diri dengan sikap empati kepada murid. Lagi-lagi, caranya tak sekadar seremonial misalnya menyalurkan sumbangan untuk korban bencana saja. Empati melampaui hal-hal ritual semacam itu. Dalam hal pembelajaran di sekolah, empati mewujud pada sikap guru yang melihat anak murid dengan tatapan humanis. Tak memperlakukan mereka sebagai objek pembelajaran yang manut pada kehendak guru saja.

Guru yang empatik senantiasa menampilkan wajah yang ramah, ceria, dan bahagia. Kata-katanya lembut tanpa penghalang bagi murid untuk mengkritik, bertanya, atau berbeda pendapat dengan sang guru. Emosinya stabil, tampak dalam sikap yang tenang tak gampang reaktif. Memandang persoalan dengan hati dan pikiran yang jernih.

Guru yang empatik adalah guru yang mengedepankan cinta sewaktu memberikan pembelajaran. Guru yang terus belajar. Baginya, proses belajar merupakan pencarian bersama akan jati diri, petualangan yang seru dalam menguji dan membuktikan hipotesis, proses dialog multi arah dengan kehidupan sebagai kurikulum sesungguhnya.

Pendidik selayak itu adalah teladan sejati. Sikap empatiknya tercurah untuk siswanya dan meresap hingga membangkitkan empati pada diri peserta didik. Di sinilah letak urgensinya. Pendidik yang empatik melahirkan generasi yang peduli. Pada gilirannya, tujuan pendidikan memanusiakan manusia bukan isapan jempol belaka. Pendidikan menghendaki keberlanjutan kebaikan dari masa ke masa, membuahkan kedamaian dalam persatuan, dan menumbuhkan kodrat alami peserta didik yang beragam.

Dengan demikian, perbedaan sebagai kekayaan keragaman tak perlu meruncing memisahkan dua kutub benar-salah. Perbedaan berlangsung wajar agar kita saling belajar. Hanya dengan mental empatik kehidupan berjalan harmoni.

Tak hanya itu, sikap empatik yang dirawat dengan subur, berdampak pada sehatnya nalar. Pikiran kita boleh saja membantah pendapat seseorang, tapi hati kita tak pernah terbersit niat untuk menista pribadinya. Ketika hati telah bersih dari kotoran benci maka pendapat yang muncul dari kita adalah ungkapan masuk akal yang melahirkan diskursus bermutu.

Absennya empati bisa membajak akal sehat untuk menghasilkan pemikiran yang arif dan bijak. Sehingga adanya perbedaan justru membelah temali kebersamaan. Harmonisasi sosial terganggu oleh saling serang yang mengabaikan kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Sekali lagi, melalui juru didik yang senantiasa memperindah diri dengan sikap empatik, akan tumbuh generasi yang sehat badannya, cerdas pikirnya, dan tinggi moralnya. Guru demikian digambarkan dalam satu ayat dasa dharma Pramuka, "suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan".

Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.