
Jakarta, 5 September 2023 - Sejumlah organisasi profesi guru menyatakan mendukung rencana peraturan KPU yang membatasi kampanye di tempat pendidikan hanya untuk perguruan tinggi. Hal tersebut disampaikan sejumlah organisasi profesi guru antara lain Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), dan Ikatan Guru Indonesia (IGI) dalam webinar bertajuk “Kampanye Pemilu di Sekolah: Apa Kata Guru?” yang diinisiasi oleh Yayasan Cahaya Guru, Selasa, 5 September 2023. Mereka sepakat bahwa kampanye di tempat pendidikan dini, dasar, dan menengah akan menimbulkan dampak negatif pada anak, dan iklim keragaman yang ada di sekolah.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi 15 Agustus 2023 lalu mengabulkan sebagian permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU UU Pemilu). Pada amar putusan bernomor 65/PUU-XXI/2023 tersebut maka Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu berbunyi, “Pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan lampu hijau kepada pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu menggunakan fasilitas tempat pendidikan sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye.
Rizal Lubis, Kepala Sekolah SDIT Ajimutu Global Insani Bekasi menuturkan kampanye di sekolah sangat berisiko dan mengganggu ketentraman relasi antara murid, orang tua, guru, dan pihak yayasan.
“Kami berharap para pembuat kebijakan melihat langsung bagaimana kondisi di sekolah. Kami sudah cukup mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang substansial melalui pembelajaran, dan praktik-praktik berdemokrasi di kelas.” ucapnya.
Sementara itu, Ade Irawan Kepala SMP Global Mandiri Jakarta menyatakan bahwa kampanye pemilu akan berdampak langsung pada keberlanjutan sekolah-sekolah swasta seperti sekolahnya.
”Kami sebagai sekolah umum mengembangkan sekolah yang terbuka, multikultur. Kami melampaui sekat-sekat beda suku, agama, dan pilihan politik. Kalau sekolah sebagai tempat kampanye satu atau dua partai, sekolah nanti akan diidentikkan dengan partai penyelenggara kampanye. Untuk sekolah swasta ada dampak besar bagi eksistensi keberlangsungan sekolah tersebut,” papar Ade.
Hal senada disampaikan oleh Iman Zanatul Haeri Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Sejak Mahkamah konstitusi (MK) memutuskan bahwa tempat pendidikan dapat dijadikan tempat kampanye, P2G dari awal jelas menolak.
“Kampanye di sekolah dan madrasah akan sangat berbahaya. Tidak mendidik secara politik, karena ada relasi kuasa yang terjadi didalamnya” ucapnya.
Sementara itu, Ahmad Kamaludin Direktur Pusat Advokasi dan Perlindungan Profesi Guru Ikatan Guru Indonesia (IGI) menyatakan lembaganya adalah organisasi guru yang menjunjung tinggi netralitas dan tidak memihak kandidat atau parpol manapun. Oleh sebab itu, dia berharap bahwa KPU mengatur secara rinci pelaksanaan kampanye di sekolah.
“Dalam AD/ART organisasi profesi guru harus menjaga netralitas. Jika kampanye dilakukan di sekolah, kami mengkhawatirkan fanatisme pada salah satu calon. Bisa juga terjadi bentrokan antara satu sekolah dengan sekolah lain yang mendukung salah satu calon.”ucapnya
Mansur Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyayangkan adanya keputusan MK tersebut. Namun, FSGI menyadari bahwa keputusan tersebut adalah final dan mengikat. Oleh sebab itu, FSGI merekomendasikan kepada KPU untuk lebih mendetilkan dengan mengedepankan nilai-nilai pendidikan.
“Kami menyarankan juga kepada guru-guru dan kepala sekolah anggota kami untuk bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang kami yakini” ucapnya.
Endang Yuliastuti, dari PB PGRI menegaskan hal sama, bahwa semua sekolah harus netral. PGRI telah membuka kerjasama dengan berbagai pihak untuk mencegah pemilu ini melukai dunia pendidikan.
“PGRI sudah menghubungi secara informal KPU dan Kemendagri untuk menjaga sekolah tetap netral, serta tidak mengikutsertakan siswa di bawah usia 17 tahun dalam tahapan pemilu. Kami juga telah MoU dengan kepolisian.” tegasnya.
Muhammad Mukhlisin, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru mendukung Rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Kampanye Pemilihan Umum tertanggal 4 September 2023. Dalam rancangan tersebut, KPU membatasi yang dimaksud tempat pendidikan adalah perguruan tinggi yang meliputi: universitas; institut; sekolah tinggi; politeknik; akademi; dan/atau akademi komunitas.
“Kami harap supaya rencana peraturan KPU ini disahkan dengan mempertimbangkan suara para pendidik yang telah bersusah payah membangun iklim pendidikan yang kondusif. Jangan ada kampanye di sekolah. Pemilu masih bisa berjalan dengan damai tanpa harus mengorbankan jerih payah para pendidik yang tulus mengajar murid” ucap Mukhlisin.
Menurutnya, kampanye pemilu di sekolah dan madrasah dapat mengganggu, dan menimbulkan dampak negatif pada iklim keragaman di sekolah. Sebagian besar murid juga belum mempunyai hak pilih. Berbeda dengan kondisi mahasiswa di kampus atau perguruan tinggi yang telah memiliki kematangan bersikap dan hak pilih.
Mukhlisin mencatat, pada pemilu sebelumnya, terdapat pelanggaran pidana yang melibatkan guru sebagai ASN dan kampanye di sekolah, seperti yang terjadi di sebuah SMP di Jakarta Barat pada tahun 2018. Ada juga kasus guru terlibat penyebaran hoax pada pemilu 2019 lalu. Jika pemilu dilaksanakan di sekolah, tentu sangat mengkhawatirkan. [MM]
Foto Webinar: Keterangan foto: Diskusi dan Refleksi "Kampanye Pemilu di Sekolah: Apa Kata Guru?" yang dihadiri oleh perwakilan organisasi profesi guru antara lain PGRI, FSGI, IGI, dan P2G, Selasa 5 September 2023.
Sumber: Dok. Yayasan Cahaya Guru