
Ini 15 Bentuk Pelanggaran Hak Anak di Masa Pemilu
(Catatan dari Diskusi dan Refleksi Guru dan Pemilu Ramah Anak)
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sylvana Maria Apituley, mengatakan bahwa guru sebagai insan pendidikan, perlu melihat Pemilu 2024 sebagai momentum politik bagi masa depan anak Indonesia untuk Indonesia Layak Anak dan Indonesia Emas. Ia menyampaikan beberapa keprihatinan yang perlu menjadi perhatian bersama, antara lain:
- Dalam setiap pemilihan (Pemilu, Pileg, Pilkada, dll) anak masih menjadi isu marginal dalam pemilu. Anak tidak pernah menjadi pokok bahasan penting dalam wacana pengambilan keputusan tingkat regional maupun nasional.
- Absennya komitmen politik dan perlindungan hak anak yang komprehensif, berkelanjutan, dan menyelesaikan akar masalah.
- Anak berhak bebas dari eksploitasi dan berhak didengar suaranya. Ini belum menjadi bagian pendekatan berpolitik selama pemilu dan pilkada, masih ada diskriminasi dan eksploitasi dalam kegiatan politik dan pemilu.
- Pemilu 2024 menentukan berhasil atau gagalnya bangsa kita mengelola bonus demografi. Target SDGs, cita-cita Indonesia layak anak, Indonesia emas semuanya ada, tapi dalam pemantauan KPAI, situasi di lapangan, jauh dari harapan kita.
- Anak atau remaja sampai 17 tahun, mereka bukan lagi follower tapi peserta aktif, tapi mereka juga rentan dimobilisasi dalam aksi anarkis dan perbuatan kriminal.
Dalam catatan KPAI, ada 15 bentuk pelanggaran hak anak dalam Pemilu, yaitu:
- Memanipulasi data anak yang belum berusia 17 tahun dan belum menikah agar bisa terdaftar sebagai pemilih serta daftar pemilih tetap
- Menggunakan tempat bermain anak, tempat penitipan anak, atau tempat pendidikan anak untuk kegiatan kampanye
- Memobilisasi massa anak oleh partai politik atau calon kepala daerah
- Menggunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye untuk memilih partai atau caleg tertentu
- Menampilkan anak sebagai bintang utama dari suatu iklan politik
- Menampilkan anak di atas panggung kampanye parpol dalam bentuk hiburan
- Menggunakan anak untuk memakai dan memasang atribut-atribut partai politik
- Menggunakan anak untuk melakukan pembayaran kepada pemilih dewasa dalam praktik politik uang oleh parpol atau calon kepala daerah
- Mempersenjatai anak atau memberikan benda tertentu yang membahayakan dirinya atau orang lain
- Memaksa, membujuk atau merayu anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang selama kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara
- Membawa bayi atau anak yang berusia di bawah 7 tahun ke arena kampanye terbuka yang membahayakan anak
- Melakukan tindakan kekerasan atau yang dapat ditafsirkan sebagai tindak kekerasan dalam kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara (seperti kepala anak digunduli, tubuh disemprot air atau cat)
- Melakukan pengucilan, penghinaan, intimidasi atau tindakan-tindakan diskriminatif kepada anak yang orangtua atau keluarganya berbeda atau diduga berbeda pilihan politiknya
- Memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci calon kepala daerah atau parpol tertentu
- Melibatkan anak dalam sengketa hasil penghitungan suara.
Menurut Sylvana, Pemilu serentak 2024 masih menyimpan potensi pelanggaran yang besar seperti pemalsuan data anak dan mobilisasi anak melakukan ujaran kebencian dengan memanfaatkan kepolosan anak.
Di hadapan para guru, Sylvana mengajak berefleksi, “Mengapa anak melakukan ujaran kebencian melalui sosial media? Saya ingin menggugah Ibu dan Bapak guru. Perbuatan terhadap anak ini berlawanan dan bertentangan dengan visi misi pendidik. Apa yang Anda kerjakan sebagai pendidik dirampas pelaku politik yang mengeksploitasi anak dengan cara yang kasar, mereka melakukan unlearning, dan membatalkan edukasi yang dilakukan guru untuk pencerdasan, pembentukan akal budi, dan hal baik lainnya.”
Sylvana menyampaikan hal ini di hadapan guru dan pemangku kepentingan dalam Diskusi dan Refleksi bertajuk Guru dan Pemilu Ramah Anak yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru pada Selasa, 8 Agustus 2023. Ia juga mengajak guru-guru menjadi mitra dan sahabat KPAI, bersama banyak mitra, memainkan peran strategis menjadi pendamping anak di sekolah, menghindarkan anak dari 15 bentuk eksploitasi saat Pemilu, dan secara tegas melakukan edukasi internal di antara guru maupun dengan murid. Sylvana juga mencatat masukan dari guru dan siswa dalam kegiatan ini dalam rangka membantu KPAI menyusun Panduan Pemilu Ramah Anak.
Partisipasi guru benar-benar sangat diperlukan. Guru memiliki peran strategis melindungi dan merawat lingkungan sekolah sebagai ruang aman dan nyaman untuk kegiatan edukasi dan bebas dari gempuran hoaks. Minimal di sekolah kita saja dulu, di lingkungan masing-masing saja. Pastikan sekolah kita ramah anak,” pungkasnya. [GS]