
Pesta Demokrasi Seharusnya Menyenangkan
(Catatan dari Diskusi dan Refleksi Guru dan Pemilu Ramah Anak)
“Sekolah harus menjadi tempat netral bagi guru dan siswa, apalagi guru sebagai role model. Apa yang ia ucapkan, ia lakukan, bahkan kenakan, itu dilihat oleh siswa. Dalam pemilu, diharapkan menjaga netralitas agar tidak ada gesekan, provokasi, agitasi, olok-olok, ataupun tindak kekerasan.” (Endang Yuliastuti)
Dalam Diskusi dan Refleksi bertajuk Guru dan Pemilu Ramah Anak yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru (8/8), Endang Yuliastuti, guru di SMPN 19 Jakarta dan Ketua APKS Bahasa Inggris PB PGRI menyampaikan pandangannya tentang netralitas sekolah dalam Pemilu. Ia berharap setiap guru di Indonesia menetapkan sekolah sebagai tempat yang netral.
Menjaga Netralitas Guru
“Saya berharap setiap guru di Indonesia menetapkan sekolah sebagai tempat yang netral, kita sebagai guru tidak berpolitik praktis, karena anak semuanya harus kita layani tanpa membedakan pilihan mereka, apa yang mereka dukung, apa yang tidak mereka dukung. Sekolah harus menjadi tempat netral bagi guru dan siswa, apalagi guru sebagai role model. Apa yang ia ucapkan, ia lakukan, bahkan kenakan, itu dilihat oleh siswa,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa dalam pemilu, netralitas guru dibutuhkan agar tidak ada gesekan, provokasi, agitasi, olok-olok, ataupun tindak kekerasan. Ia juga menyampaikan bahwa dirinya bersama jajaran pengurus lain di PGRI akan menyerukan ini kepada seluruh guru di Indonesia di bawah naungan PGRI.
Memperkenalkan Pemilu sebagai Hal Menyenangkan
Endang Yuliastuti banyak bercerita tentang pengalamannya sebagai guru kelas memperkenalkan praktik demokrasi kepada siswa, misalnya dalam pemilihan Ketua Kelas dan Pemilihan Pengurus OSIS. Ia bercerita bagaimana setiap anak memahami bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, menyampaikan pendapat, memahami tahapan pemilihan, hingga melakukan pemilihan. “Kami juga menyertakan perangkat miniatur pemilihan. Sehingga pada saat siswa melihat pemilu yang lebih luas, mereka tahu itu hal yang menyenangkan.”
Pemilu adalah peristiwa demokrasi besar di Indonesia yang diikuti rakyat Indonesia, yaitu orang dewasa berusia 17 tahun ke atas. Anak di kelas 12 biasanya merupakan pemilih pertama sehingga belum punya pengalaman pemilu sebelumnya. Guru dapat membimbing anak untuk memahami apa itu Pemilu, bukan sekadar ruang di mana mereka dapat berpartisipasi, namun juga peristiwa yang menggembirakan.
“Guru-guru PPKN bekerjasama dengan OSIS mengadakan pemilu kecil di sekolah seperti Pemilos, pemilihan ketua kelas, dll. Ini agar anak paham bahwa Pemilu bukan hal yang menakutkan tapi menggembirakan. Bukan tempat untuk saling bergesekan, tapi memilih hal yang baik sehingga anak-anak pun mengikuti pemilu dalam keadaan senang dan hati yang gembira,” tegasnya.
Pemilu Ramah Anak
Bagaimana menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif dan ramah anak dalam masa Pemilu? Menurut Endang Yuliastuti, ini yang harus dilakukan:
- Menetapkan sekolah di seluruh Indonesia sebagai tempat netral
- Memberikan edukasi kepada sekolah baik langsung dengan mendatangkan pihak yang berkepentingan untuk edukasi atau secara tidak langsung dengan mengirim juknis/panduan
- Melarang guru berpolitik praktis
- Tidak mengikutsertakan siswa yang belum memiliki hak suara dalam rangkaian kegiatan pemilu
- Tidak menghasut, mengagitasi, memprovokasi untuk menolak caleg capres atau mendukung caleg capres agar tidak terjadi gesekan, polarisasi, dan lingkungan sekolah yang tidak aman.
Yang pasti, Pemilu sebagai pesta demokrasi perlu menjadi peristiwa yang menyenangkan bagi semua rakyat Indonesia dan ramah bagi anak-anak Indonesia. Siapkah guru mewujudkannya? [GS]