
Perundungan dan Bahaya Menyepelekan Aduan Anak
Oleh: M. Mukhlisin - Direktur Yayasan Cahaya Guru
Beberapa hari lalu penulis mewakili Yayasan Cahaya Guru menghadiri sebuah pertemuan membahas tindakan perundungan di sebuah sekolah di Jawa Barat. Dalam pertemuan tersebut, hadir beberapa perwakilan dari dinas pendidikan, Kemendikbud Ristek Dikti, dan perwakilan masyarakat sipil pemerhati pendidikan.
Dalam kasus ini, dua orang pemantau dari Kemendikbud Ristek Dikti telah ditugaskan untuk mengonfirmasi kebenaran tindakan perundungan. Dugaan sementara, seorang anak kelas dua SD telah mendapatkan perundungan karena kepercayaan yang dianutnya. Tidak hanya itu, dia juga terpaksa menggunakan jilbab imbas dalam dapodik tertulis agama Islam.
Berdasarkan pengalaman 17 tahun Yayasan Cahaya Guru (YCG), kesadaran keragaman para guru memang masih perlu ditingkatkan. Meskipun para guru sepakat bahwa Indonesia beragam suku, ras, agama dan kepercayaan. Namun, kesadaran untuk mau hidup berdampingan masih perlu terus disemai. Oleh sebab itu, YCG konsisten mendampingi para guru memahami dan mengelola keragaman melalui program Sekolah Guru Kebinekaan dan program-program lain.
Puncaknya, beberapa minggu lalu anak ini mendapatkan tindakan pemukulan dari temannya tepat di bagian hidung. Sontak hal ini membuatnya kesakitan dan mengadu ke guru. Sayangnya, guru tidak merespon dan menyelesaikan tindakan kekerasan tersebut, dengan dalih sibuk.
Beberapa kali orang tua yang bersangkutan melapor ke sekolah. Orang tua protes karena anaknya terpaksa menggunakan jilbab, sementara mereka penghayat kepercayaan. Para guru beralasan karena di raport tercantum agama Islam. Sementara itu pada saat mendaftar, sekolah menyarankan menulis agama Islam karena tidak ada kolom penghayat dalam dapodik.
Kondisi diskriminatif seperti ini lazim dijumpai anak-anak penghayat kepercayaan. Beberapa penyuluh (guru) penghayat menyatakan hal ini ke Yayasan Cahaya Guru. Meskipun Kemendikbud telah menerbitkan Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan, kenyataannya, hak pendidikan untuk anak-anak penghayat dibeberapa tempat masih terabaikan.
Singkat cerita, pemantau yang mengunjungi sekolah tersebut menyatakan bahwa para guru mengetahui anak ini “suka mengadu” dan “cengeng”. Lagi-lagi dengan alasan sibuk, para guru tidak merespon aduan korban yang masih duduk di kelas dua SD ini.
Melalui, tulisan ini penulis ingin mengajak para guru dan orang tua untuk berefleksi. Janganlah atas nama kesibukan kita menjadi lupa kewajiban sebagai pendidik dan pelindung anak-anak. Jangan juga kita melabeli anak-anak “pengadu” dan “cengeng”. Sejatinya, anak-anak sedang mencari perlindungan dan figur pengayom yang dapat membantu mereka menghadapi perundungan.
Perundungan yang semakin mengkhawatirkan
Akhir Juni lalu, R (14 tahun) seorang pelajar SMPN 2 Pringsurat, Temanggung, Jawa tengah mengeluarkan kekesalannya dengan menyulut api di halaman sekolah, dan membakar ruang prakarya dan merembet ke ruang kelas. Dalam pengakuannya kepada polisi, R menyatakan sakit hati karena sering dirundung oleh teman-temannya. Ditambah dengan sikap guru yang tidak menghargai karyanya.
Sementara itu, kepala sekolah terkesan menyalahkan R kasus ini. Menurutnya, R adalah anak yang suka cari perhatian. "Ketika melakukan kesalahan dan dipanggil guru, dia (R) seringkali berpura-pura muntah atau bahkan kesurupan. Pokoknya caper, dia minta perhatian lebih pada teman-teman, tidak nakal," ungkap kepala sekolah pada Selasa (27/6/2023) dalam sebuah berita daring. Dalam kasus ini kepala sekolah dan guru mestinya bisa lebih mendalami kondisi kejiwaan R sebelum menyimpulkan dan menyalahkan lebih jauh.
Pada April 2022, pembakaran sekolah juga terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. AW (15 tahun) nekat membakar sekolahnya karena sakit hati ditegur gurunya saat makan di dalam kelas. Pada Mei 2016, siswi berinisial V (11 tahun) membakar Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Polokarto, Sukoharjo, Jawa Tengah. V memiliki persoalan yang sama, yaitu mengalami perundungan oleh teman-temannya.
Perundungan merupakan persoalan serius, bahkan beberapa kasus menyebabkan hilangnya nyawa. Di Medan, Sumatera Utara, seorang siswa SD berumur 8 tahun berinisial B meninggal. Hal tersebut terjadi karena diduga menjadi korban perundungan kakak kelasnya pada 22 Mei 2023 lalu. Pada pertengahan 2022 siswa sekolah dasar berusia 11 tahun di Tasikmalaya, Jawa Barat mengalami depresi dan akhirnya meninggal karena mengalami kekerasan dari teman-temannya.
Perundungan kini menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Pada 2018, PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) menyebutkan bahwa 41 persen pelajar usia 15 tahun pernah mengalami perundungan dalam satu bulan bisa terjadi beberapa kali. Indonesia bahkan menduduki peringkat kelima dari 78 negara di dunia. Percayalah bahwa Visi Indonesia Emas 2045 tidak akan terwujud jika iklim pendidikan seperti ini terus berlanjut. Sungguh menyedihkan.
Mencegah meluasnya perundungan
Bagi sebagian guru dan orang tua perundungan kurang mendapatkan perhatian karena dianggap candaan dan sebatas kenakalan anak-anak. Namun, bagi korban perundungan tentu berdampak besar, seperti terganggunya kesehatan mental. Ini bisa menjadi trauma panjang. Perundungan juga bisa menurunkan prestasi akademik bahkan putus sekolah.
Oleh sebab itu, beberapa hal yang perlu segera dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, memperbaiki sistem pencegahan dan penanganan di sekolah. Kemendikbud perlu segera melakukan revisi Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Nyatanya, kebijakan ini sudah tidak efektif dan korban terus berjatuhan. Kita membutuhkan kebijakan yang komprehensif meliputi pencegahan, penanganan, sanksi, dan koordinasi kelembagaan sampai pembentukan satuan tugas di tingkat sekolah-sekolah. Siswa perlu diberikan jaminan rasa aman untuk melaporkan dan pemulihan korban.
Kedua, peningkatan kapasitas guru. Berdasarkan pengalaman Yayasan Cahaya Guru, tidak banyak guru memahami dan memiliki keterampilan menangani kekerasan dan perundungan di sekolah. Padahal, guru memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan iklim sekolah dan damai. Guru memiliki peran kunci dalam membantu siswa memahami konsep perundungan, efek negatifnya, dan pentingnya menghormati perbedaan individu. Guru juga harus menjadi contoh peran yang baik bagi siswa. Mereka harus menunjukkan sikap positif, empati, dan inklusif dalam interaksi mereka dengan siswa. Dengan peningkatan kapasitas ini diharapkan tidak ada lagi guru yang menyepelekan aduan-aduan anak-anak.
Ketiga, mengembangkan pembelajaran berbasis sosial dan emosional. Pembelajaran berbasis sosial dan emosional mengajarkan siswa tentang empati, pemahaman, dan menghormati perasaan dan perspektif orang lain. Pembelajaran berbasis sosial dan emosional juga membantu siswa mengenali dan mengelola emosi mereka sendiri dengan baik. Ini membantu mereka mengatasi stres, frustrasi, atau kemarahan dengan cara yang konstruktif. Siswa perlu diberikan pengalaman belajar menghormati dan menghargai keberagaman dalam segala bentuknya, termasuk perbedaan budaya, ras, agama, gender, dan lain-lain.
Dengan mengintegrasikan sistem, peningkatan kapasitas guru dan pembelajaran berbasis sosial dan emosional diharapkan dapat mengembangkan keterampilan sosial, empati, dan pemecahan konflik yang dapat membantu mencegah tindakan perundungan. Hal ini menciptakan lingkungan sekolah yang aman, inklusif, dan mendukung bagi semua siswa. [MM]