03
Jun 2023
Pancasila di Simpang Jalan
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 
Pancasila di Simpang Jalan
Oleh : Muhamad Dhofier
 
Antusiasme warga menyambut biksu Thudong yang sedang melakukan perjalanan spiritual dari Thailand menuju Indonesia (Borobudur) merupakan keberkahan tersendiri bagi keragaman dan keindonesiaan kita. Betapa masyarakat dengan suka cita mengurai tawa ramah dan menawarkan ragam sedekah sekadar meringankan lelah. 
 
Satu kebahagiaan yang patut kita syukuri. Ada celah untuk menerangi pekatnya hiruk pikuk debat yang cenderung memecah. Polarisasi pilihan politik yang dibangun di atas pondasi lemah. Setapak demi setapak langkah suci para biksu itu membuka kembali tumpulnya hati yang sesak oleh obrolan di warung pojok yang hanya berputar pada siapa yang akan menggelontorkan banyak uang untuk dipilih. 
 
Keindonesiaan kita sungguh-sungguh sedang diuji. Politik branding yang mengedepankan citra permukaan berhasil masuk ke dalam cita rasa masyarakat awan dan merusak kepekaan pada keutamaan yang mulia. Seperti balita yang terus dijejali dengan jajanan ringan yang minim gizi, bahkan tak sehat. Organ pencernaannya terlanjur dilumuri oleh zat yang memudarkan rasa dasar. Sehingga wajar anak-anak tak lagi memilih sayur dan buah untuk dikonsumsi. Semacam itulah kondisi kita. Mudah tergiur pada tawaran murah hanya untuk melunasi tagihan selera rendah. Pilihan bukan lagi soal gagasan yang bermutu melainkan tentang seberapa besar cuan yang dijanjikan. 
 
Dalam suasana demikian, sensitivitas pada rasa dasar telah hilang. Prinsip kearifan tak jadi pertimbangan dalam pergaulan. Masyarakat mudah diadu hanya dengan isu receh yang menghasut. Kemarahan mudah disulut oleh kabar palsu yang viral. Tradisi perayaan, ritual, dan festival tampak kehilangan makna, lebih menonjolkan narsisme kelompok untuk menunjukkan "kamilah yang paling Indonesia".
 
Saat ini kita dianugerahi dua perayaan besar. Hari raya Tri Waisak dan hari raya Idul Adha. Kedua perayaan itu mengandung esensi pengorbanan, membuang segala angkara murka yang bercokol di dalam diri, di waktu yang sama dianjurkan menerbitkan rasa welas asih dan membangun nilai-nilai kebajikan kolektif. 
 
Perjalanan agung para biksu dari negeri Gajah Putih menuju Candi Borobudur merupakan simbol pelepasan keduniawian yang merusak. Demikian pula ziarah para jamaah Haji menuju rumah Allah ke kota suci Mekah, adalah jalan kemuliaan untuk menumbangkan ego yang menghancurkan. 
 
Kita perlu memetik makna dari kedua hari raya itu dengan meraba kedalaman batin, memunguti satu per satu duri kemunafikan, kebencian, dan kerakusan. Mengasah kembali ketajaman kepekaan, bela rasa, dan kesadaran pentingnya persatuan yang damai. Secara bertahap memulihkan lagi indera perasa yang hampir kehilangan rasa. Rasa yang terkandung dalam prinsip-prinsip dasar kemuliaan, yang digali dari kedalaman jiwa bumi pertiwi, yakni Pancasila. 
 
Aktualisasi Pancasila
 
Pancasila telah terbukti menjadi pemersatu yang tak membelenggu. Untaian butir-butir nilai yang dikandungnya menginspirasi bagi daya cipta, rasa, dan karsa. Konsep keindonesiaan tegak dan kokoh berdiri di atasnya. Nilai-nilai dasar Pancasila inilah yang semestinya menjadi jangkar yang memandu jalannya perahu besar bangsa Indonesia agar tak mudah terseret pada perubahan yang cepat dan acak. Perubahan yang tak selalu dalam kerangka kebajikan. Prinsip mulia Pancasila teguh membimbing kita pada rel kebenaran, kebaikan, dan keindahan. 
 
Penerapan nilai-nilai Pancasila sepatutnya dalam nuansa gotong-royong di dalam selimut keragaman. Keragaman menjadi kekayaan perpaduan warna yang mempercantik, bukan saling menunjukkan siapa yang lebih mencolok. Sehingga kanvas lukisan Indonesia tetap terlihat anggun. 
 
Itu semua akan terwujud jika satu-satunya ruang penyemai nilai-nilai dasar Pancasila terbangun subur. Ruang yang dimaksud adalah institusi pendidikan. Institusi inilah yang menjadi tulang punggung agar nilai-nilai Pancasila senantiasa aktual. Pendidikan harus menjadi laboratorium kehidupan yang menghadirkan kurikulum bernyawa Pancasila. 
 
Kurikulum tak perlu latah dan kagetan menyikapi perubahan. Sehingga semua hal ingin dimasukkan dalam muatannya. Saat korupsi merebak, kurikulum anti korupsi ingin dimasukkan. Saat lingkungan rusak, kurikulum tentang lingkungan ingin dimasukkan, saat Pancasila kurang dikenal anak muda, kurikulum profil pelajar Pancasila masuk dalam substansi. Belum lagi, pendidikan malah berisik berganti-ganti kurikulum bergantung pada jatah siapa menteri yang mendapatkan kue politik. 
 
Pancasila niscaya menjadi ruh dalam penyususnan kurikulum. Untuk itu, nama kurikulum nasional ada baiknya bernama kurikulum Pancasila. Sehingga jika ada perubahan, tak perlu berganti-ganti nama, cukup bagian tertentu yang perlu direvisi sesuai kebutuhan anak-anak dan zamannya.
 
Sekarang ini, salah satu muatan yang menjadi arus utama dalam kurikulum merdeka adalah Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Pada bagian ini, upaya agar Pancasila relevan untuk anak-anak remaja malah bisa berdampak Sebaliknya. Pancasila menjadi objek pelajaran, bukan sebagai jiwa setiap materi pelajaran. Sehingga Pancasila sekadar dikenal, dihapal, dan dipahami sebagai sebuah pengetahuan untuk kepentingan nilai-nilai yang diangkakan. Misalnya saja, P5 diajarkan dengan metode perayaan-perayaan, yang sehari atau sepekan selesai maka selesai sudah tugas pemenuhan target kurikulum. 
 
Masih sedikit sekali kita temukan misalnya, sekolah-sekolah yang berbasis agama mau saling berjumpa menyusun kurikulum bersama. Atau justru di sekolah-sekolah negeri ditemukan pelarangan atau pewajiban berjilbab, kurangnya ketersediaan guru agama atau kepercayaan sesuai yang dianut siswa, dan masih maraknya perundungan baik fisik maupun verbal. 
 
Kalau penyemaian Pancasila hanya soal perayaan-perayaan dan festival, maka tak heran nilai-nilai luhur itu tumbuh meriah tanpa berbuah. Laksana padi yang pohonnya menjulang tapi bulir buahnya kosong, sebab gagal sejak dalam persemaian. Mata pelajaran yang hanya dihapal akan sulit menghasilkan buah matang yang siap panen. Maka, ketika anak-anak muda ditanya soal kunci sukses, jawabannya pasti lantang, disiplin, tanggung jawab, kerja sama dan seterusnya. Praktiknya? Tampaknya ini PR besar pendidikan kita. 
 
Alhasil, kita bisa tersenyum ramah menyambut biksu Thudong yang sedang berhajat mulia. Sebuah Pemandangan penerimaan akan perbedaan yang membahagiakan. Tapi sebuah tanya patut diajukan, apakah dalam benak para penyambut itu bersih dari penolakan pendirian rumah ibadah agama lain? Selamat hari lahir Pancasila, selamat hari raya Tri Waisak, selamat hari raya Idul Adha.
 
--------------
 
Muhamad Dhofier  adalah perintis pondok pesantren Nihadlul Qulub di Moga, Pemalang, Jateng. Ia juga mendirikan Sanggar Pendidikan Anak Pembelajar (SANDIKALA) di rumahnya, Tegal. Ia juga peserta Sekolah Guru Kebinekaan 2020 yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru. Dhofier merupakan satu di antara guru-guru yang memperkuat Tim Fasilitator YCG.
 
Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.