
Beberapa waktu lalu, Yayasan Cahaya Guru menyelenggarakan kegiatan webinar “Buka Mata Buka Hati: Perundungan di Sekitar Kita” dalam rangkaian seri Diskusi dan Refleksi Guru yang diselenggarakan secara daring. Diskusi kali tersebut dipandu oleh Sicillia Leiwakabessy, fasilitator sekaligus manajer pengembangan kapasitas Yayasan Cahaya Guru. Diskusi tersebut menghadirkan beberapa teman belajar antara lain, Rudi Miswanto (Analis Kemitraan Tim Perundungan Pusat Penguatan Karakter (PUSPEK)), Retno Listyarti (Komisioner Bidang Pendidikan KPAI 2017-2022), dan Julians Andarsa (Sekretariat Pokja Kekerasan, Kemendikbud Ristek).
Sebelum memulai kegiatan Sicillia Leiwakabessy sebagai pemandu acara, mengajak seluruh guru untuk membuka video dan saling memberikan sapaan hangat serta saling memberikan senyuman, untuk menghangatkan awal pertemuan. Kami percaya bahwa senyuman dan sapaan hangat, dapat memberikan rasa hangat dalam hati kepada siapa saja yang menerimanya.
Walaupun kita ingin menutup mata terhadap situasi perundungan, namun fenomena tersebut tetap ada, baik dialami oleh murid, guru atau tenaga pendidikan, baik menjadi korban atau bahkan menjadi pelaku. Sekolah seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman untuk tumbuh kembang bagi warganya, dimana nilai kemerdekaan dan kemanusiaan disemai namun sekolah masih ada sekolah atau instansi pendidikan yang belum terbebas dari perundungan.
“Dalam pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2021, terhadap 2.982 pengaduan kasus perlindungan khusus anak dengan berbagai kondisi”, kata Retno.
Namun secara garis besar berbagai kasus tersebut mendorong anak harus berkonflik dengan hukum, barang tentu hal tersebut tidak muncul secara tiba-tiba dalam diri anak. Ada berbagai faktor yang bisa mendorong anak atau seseorang menjadi korban atau pelaku perundungan, paling tidak ada tiga faktor secara umum.
“Tiga faktor mengapa pada akhirnya kekerasan muncul di sekitar kita khususnya pada anak, pertama faktor internal pada diri anak itu sendiri serta bagaimana dia diasuh dalam keluarga, keluarga merupakan pembentuk karakter utama seorang anak, jadi anak bisa melakukan atau tidaknya tergantung pendidikan keluarga”, ungkap Retno dalam proses berbagi.
Selanjutnya faktor eksternal adalah yang memengaruhi baik di lingkungan sekolah, pergaulan, dan lainnya. Bahkan menurut Ki Hajar Dewantara lingkungan memiliki peran dalam proses penanaman karakter pada diri seorang anak, karena lingkungan tumbuh kembang anak memiliki pola berulang sehingga bukan tidak mungkin pengalaman yang diterima oleh anak terserap pada alam bawah sadarnya. Adapun faktor ketiga ialah, faktor situasional yang timbul atas dorongan situasi yang tidak terduga, terdesak atau karena adanya perubahan lingkungan dalam proses pengasuhan.
“Ada indikator yang bisa kita lihat apabila terjadi perundungan pada anak atau seseorang seperti, perilaku agresif, relasi kuasa yang timpang, keberulangan, dan paksaan yang menimbulkan ketidaknyamanan atau rasa sakit hingga cedera”, terang Retno. Lebih lanjut beliau menyampaikan berbagai bentuk perundungan seperti perundungan verbal (membentak, berteriak, memaki, menghina, meledek, mempermalukan, dll), perundungan fisik (menampar, mendorong, mencubit, menjambak, menendang, meninju, dll), dan perundungan sosial (mengucilkan, membedakan, mendiamkan, dll).
Adapun dalam konteks hari ini, jenis perundungan bertambah yaitu perundungan di dunia maya, yang mana perundungan terjadi karena melalui gawai dan atau penggunaan sosial media yang berlebihan. “Hal yang mengerikan dari perundungan di dunia maya ialah, yang melakukan perundungan bisa dilakukan oleh orang yang tidak mengenal korban”, kata Retno.
Lalu ketika anak atau seseorang menghadapi perundungan, bagaimana respon yang baik untuk dilakukan dari lingkungan terdekat. Pertama, edukasi sedini mungkin terhadap berbagai tindak perundungan, kedua, dorong untuk lebih dahulu terbuka dan berani mengungkapkan ketidaknyamanan. Ketiga, jangan biarkan sendirian menghadapi berbagai perundungan yang dihadapi. Keempat, jika anak sudah menjadi korban, harus diberikan pertolongan untuk pemilihan psikologi.
“Kemudian sekolah bisa apa saat terjadi perundungan? Sebenarnya dunia pendidikan memiliki Permendikbud No.82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, yang saat ini akan diperbaiki. Namun paling tidak sekolah wajib melakukan pencegahan berupa, sosialisasi POS dalam upaya pencegahan tindak kekerasan kepada warga sekolah, menjalin kerjasama dengan lembaga psikologis, organisasi keagamaan, dan pakar pendidikan dalam rangka pencegahan. Dan sekolah wajib membentuk tim pencegahan tindak kekerasan dengan keputusan kepala sekolah dan berbagai warga sekolah”, tutup Retno. [FI]
Video kegiatan dapat disaksikan melalui: https://youtu.be/tuupj0dTsss