
17
Mar 2023
Menepis Prasangka Mempersembahkan Karya
Inspirasi Keragaman dari Ruang Kelas
Oleh: Yosef Marinus
Relasi antariman itu tidak selalu mudah, terutama antara mayoritas dan minoritas di suatu daerah. Ada perasaan minder dan kuatir tidak diterima atau tidak dihargai dalam interaksi antariman. Memang tidak selalu demikian, namun kekuatiran itu ada.
Ruang Perjumpaan yang Menghalau Kekuatiran
Kekuatiran saya lenyap saat mengikuti Sekolah Guru Kebinekaan yang diselenggarakan Yayasan Cahaya Guru tahun 2016. Semua guru disambut hangat, diterima, diberi kesempatan berpendapat dan dihargai. Sesama guru dapat berkomunikasi dengan baik, penuh keramahtamahan dan meyakinkan saya bahwa masih banyak orang baik yang menghargai keragaman.
Menghargai perbedaan menjadi semacam budaya yang saya pelajari di SGK dan saya terapkan juga di sekolah. Saya belajar untuk memuliakan murid dengan menyadari setiap pribadi itu unik, mendengarkan pendapat mereka, dan tidak cepat memberi penilaian. Beberapa anak memperbaiki sikapnya bukan karena teguran keras, namun karena mereka merasa didengar dan dimengerti.
Beragam, Berbaur, Berkarya
Di sekolah saya, ada program di mana anak-anak belajar hidup di suatu komunitas atau masyarakat dalam kurun waktu tertentu (live-in). Mereka tidak ditempatkan di komunitas dengan mayoritas penduduk Katolik. Sebaliknya, berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda agama, suku, dan berbeda situasi sosial ekonomi. Di situ, mereka belajar tentang perbedaan, menghargai perbedaan, dan menikmati perbedaan dalam semangat kemanusiaan.
Di masyarakat, saya cukup aktif di Lingkungan (satuan wilayah dalam tradisi Katolik, kumpulan umat dalamsuatu wilayah tertentu setingkat RT). Saya dipercaya membangun komunikasi dengan teman-teman yang berbeda iman. Tidak harus dalam bentuk kegiatan-kegiatan formil ataupun yang bersifat selebrasi, cukup menjadi sesamayang baik dalam pergaulan keseharian. Kebersamaan itu dibangun lewat ngobrol bareng, ngopi bareng, atau sekadarkumpul tanpa harus membahas agama.
Saya beruntung tinggal di Kampung Sawah, Bekasi. Relasi antariman cukup harmonis. tentu bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba, semua elemen masyarakat berkontribusi untuk merawat relasi yang ada. Dulunya dalam acara-acara tujuhbelasan, doa hanya dipimpin teman Muslim. Beberapa tahun belakangan, doa dipimpin bersama. Ada yang Muslim, ada yang Kristen.
Selesai dengan Diri Sendiri
Sepintas yang saya lakukan di sekolah atau di Lingkungan tidak berhubungan langsung dengan SGK ataupun keragaman. Hanya saja sebagaimana yang saya sampaikan di awal, relasi antariman itu tidak mudah. Awalnya pikiran saya tidak bebas dari prasangka terhadap umat dari agama lain. Saya tidak bebas dari rasa takut tidak dihargai dan tidak diterima. Saya tahu, untuk berinteraksi secara otentik, saya perlu selesai dengan diri sendiri.
Bertemu sesama guru di SGK sangat menolong menepis prasangka-prasangka tadi. Perjumpaan itu membuat saya lebih percaya diri dan memiliki pandangan positif untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan yang berbeda. Itu yang memampukan saya mengambil bagian merawat keragaman di sekolah dan di masyarakat tempat saya ada.
Sebagai guru, saya ingin menghargai perbedaan itu sebagai wujud penghormatan kepada Sang Pencipta yang memang menciptakan kita berbeda. [YM]
—
Yosef Marinus adalah guru di SMA Marie Joseph, Jakarta Utara, DKI Jakarta. Ia peserta Sekolah Guru Kebinekaan 2016 dan aktif mempromosikan keragaman dan interaksi antariman di lingkungan tempat tinggalnya.