
15
Mar 2023
Cara Baru Memandang Islam
Inspirasi Keragaman dari Ruang Kelas
Oleh: Indah Nova Ida Manurung
Saya lahir dan besar di daerah Toba, Sumatra Utara. Di tempat saya, 95% penduduknya Kristen. Pergaulan saya terbatas pada orang-orang dengan latar belakang agama dan suku yang sama. Saya juga tumbuh dengan pemikiran bahwa yang paling benar adalah agama saya. Sama sekali tidak ada perasaan bahwa pemikiran saya keliru karena lingkungan saya seperti itu. Seragam.
Takut Berteman dengan yang Berbeda
Saya dulu memiliki pemikiran negatif tentang orang Islam. Kesan yang tertanam dalam benak saya adalah tidak ramah, banyak yang menjadi teroris, bukan orang baik. Tentu hal ini tidak pernah saya sampaikan karena saya memilih menutup diri dan tidak membincangkan hal ini untuk menghindari konflik. Ketika pindah ke Medan, lingkungan saya mulai beragam, tetapi tetap saja sulit mengubah kesan yang sudah mengakar kuat. Saya takut berteman dengan yang berbeda agama, terutama Islam.
Di tahun 2015, saya pindah ke Jakarta. Lingkungan saya semakin beragam dan baru sekali saya punya teman yang beragama Islam. Itupun prosesnya tidak mulus. Butuh waktu setengah tahun untuk bisa berteman dengan nyaman. Cara saya melihat Islam mulai berubah. Ada sisi-sisi baik yang bisa saya lihat.
Ruang Tanpa Ghibah Agama
Saya beruntung bergabung dalam Sekolah Guru Kebinekaan yang diselenggarakan Yayasan Cahaya Guru tahun 2017. Di sana guru-gurunya beragam. Ada Kristen, Katolik, Islam, Hindu, dan lain-lain. Mereka semua ramah dan menyenangkan, termasuk teman-teman Muslim. Tidak pernah ada selentingan buruk saat membincang agama lain. Saya menyebutnya tidak ghibah agama.
Cara pandang saya berubah. Saya tahu bahwa agama-agama mengajarkan kebaikan, bukan hanya agama saya. Lewat SGK, kebaikan dari agama-agama yang beragam itu tidak sekadar pengetahuan bagi saya, namun pengalaman. Mengalami bahwa orang-orang dengan agama yang berbeda juga baik.
Saya mulai terbuka membicarakan perbedaan dan tetap nyaman berdiskusi dengan teman-teman di SGK. Saya yakin, bila ada sikap yang tak bersahabat mengatasnamakan agama, itu bukan karena agamanya namun pribadi pemeluknya. Tidak bisa digeneralisir bahwa suatu agama buruk karena sikap satu dua pemeluknya, karena agama sepatutnya hanya mengajarkan kebaikan.
Mundur Selangkah Maju Dua Langkah
Saat saya makin positif dan terbuka terhadap perbedaan, ada momen yang membuat saya kembali sedih yaitu Pilkada DKI Jakarta 2017. Ini menguncang bangunan rasa percaya terhadap keragaman yang baru terbangun diri saya. Saya kembali mempertanyakan di mana agama yang berwajah ramah dan bersahabat, mengapa kebencian terhadap agama lain dipertontonkan tanpa rasa bersalah dan malu, mengapa intoleransi dikedepankan tanpa sembunyi-sembunyi?
Lagi-lagi saya bersyukur karena saat itu saya bergabung di SGK. Saya merasa diyakinkan bahwa sebagai warga negara, saya memiliki hak dan kedudukan yang sama. Mayoritas ataupun minoritas dalam hal agama, semua sama. Saya merasa kembali dirangkul. Rangkulan itu datangnya bukan hanya dari yang seagama atau sesuku dengan saya, tapi dari semua teman dari beragam agama. Saya jadi punya banyak sahabat beda agama.
Masih Banyak Orang Baik
Serasa kembali diingatkan bahwa masih banyak orang baik di sekitar saya. Mereka bisa berbeda dengan saya tetapi tetap menghadirkan wajah agama yang bersahabat. SGK menjadi rumah yang nyaman bagi kami, tempat penguatan dan sumber inspirasi yang membuat saya makin percaya diri dan terbuka pada keragaman.
Sebagai guru, inspirasi dari SGK saya bawa ke kelas. Kelas saya adalah kelas di mana keragaman dirayakan dan rasa kebangsaan ditumbuhkan agar Indonesia makin dicintai. [INM]
—
Indah Nova Ida Manurung adalah guru di BPK Penabur, Jakarta Barat. Ia peserta Sekolah Guru Kebinekaan 2017 dan SGKR 2019 yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru. Indah merupakan satu di antara guru-guru yang memperkuat Tim Fasilitator YCG.