24
Jan 2023
Bakudapa di Museum Benteng Heritage Tangerang
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 

Ade Irawan

 

Sabtu, 27 Agustus 2022, saya berkesempatan ikut dalam perjalanan perjumpaan ke Museum Benteng Heritage yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru (YCG). Kegiatan ini diikuti oleh beberapa sahabat YCG yang merupakan guru-guru dari Jabodetabek. Lebak bulus menjadi titik kumpul kami. Tepat 08.30 bus berangkat mengangkut para kafilah guru pembelajar ke lokasi yang berada di Tangerang. Tak berapa lama kami sudah sampai di Tangerang dan turun di Jalan Kali Pasir, di bantaran Kali Cisadane.
Menyusuri bantaran yang tertata rapi di pagi hari merupakan pengalaman yang baru buat saya. Di kejauhan terlihat aktivitas beberapa orang membakar dupa di sebuah vihara sisi seberang tempat saya berada. Sesekali berfoto dengan latar belakang Kali Cisadane. Di luar bayangan saya, Kali Cisadane ternyata begitu lebar dan megah. Dilansir dalam laman wikipedia, Cisadane berhulu di Gunung Pangrango mengalir sepanjang 126km sampai ke Tangerang dan bermuara di Tanjung Burung. Sejauh mata memandang, sedimentasi terjadi di tepi kanan kiri sisi Kali Cisadane. Pada beberapa bagian tersebut dimanfaatkan masyarakat untuk berkebun.
Selang tak berapa lama kami berhenti, bertemu dengan Ibu Henny Supolo dan beberapa teman yang terlebih dahulu sampai dekat lokasi. Setelah ambil beberapa foto bersama, kami menyeberang masuk ke sebuah gang sempit tepat di sisi Roemboer (Roemah Boeroeng) Tangga Ronggeng.
KOMUNIKASI BUDAYA TIONGHOA DAN INDONESIA
Roemah Boeroeng dahulu merupakan rumah untuk sarang burung walet. Saat ini digunakan untuk acara-acara tertentu. Tepat di depan Roemboer, terdapat rumah Oey Kim Tiang, seorang tokoh sastra, penulis novel dan pengalih bahasa novel Tionghoa legendaris seperti Sam Pek Eng Tay. Ia punya peranan dalam pengembangan Bahasa Indonesia. Perhatiannya ini terlihat dari intensi komunikasinya dengan beberapa tokoh bahasa dan budaya di Indonesia, seperti Prof. Harimurti, Sapardi Djoko, dan lainnya. Puas memandangi Roemboer dan rumah Oey Kim Tiang, kami melanjutkan perjalanan ke Klenteng Boen Tek Bio. Tidak jauh dari depan Rumah Burung, terlihat klenteng yang warnanya mencolok mata. Kita menuju ke sana.
Sambil menyusuri gang menuju Klenteng Boen Tek Bio, saya menikmati arsitektur klasik Tionghoa. Di sini masih banyak rumah dengan ciri khas Tionghoa yakni atap rumah yang menyerupai pelana kuda. Beberapa rumah masih dalam kondisi yang baik, selebihnya sudah mendapat perubahan mengikuti gaya masa kini atau memang berdasarkan kebutuhan saja.
Saya mendengar banyak sekali informasi mengenai sejarah eksistensi etnis Tionghoa di Nusantara. Salah satu tempat awal tinggal dan berkembangnya orang Tionghoa di Indonesia adalah melalui Teluk Naga yang diawali oleh rombongan salah satu anak buah Laksamana Cheng Ho. Pada zaman penjajahan, orang Tionghoa yang tinggal di bantaran Kali Cisadane disebut sebagai Cina Benteng, karena di dekat sana didirikan Benteng Makassar.
PINTU KEBAJIKAN UNTUK SEMUA
Sampai sudah di Klenteng Boen Tek Bio. Bangunannya sangat menonjol didominasi warna merah dan tepat berada di ujung gang. Selepas gerbang utama, terlihat sepasang patung singa di sisi kanan dan kiri serta menara merah tempat pembakaran kertas. Sambil mendengarkan uraian dari teman belajar kami pada hari tersebut, saya memperhatikan aktivitas para jamaah: masuk ke dalam gerbang, mengambil kertas sembahyang. Setelah hio dinyalakan, para jamaah berdoa di depan Yang Tertinggi, dewa dan leluhur mereka. Setelah itu kertas sembahyang dibakar dan dimasukkan dalam sebuah tungku berbentuk menara pendek yang berwarna merah.
Terdapat jalan peribadatan yang mengitari ruang utama ibadah. Jalan masuk terdapat di sisi kanan, yakni Pintu Kebenaran. Di lorong tersebut terdapat patung-patung dewa dan beberapa jamaah terlihat di sana. Lorong itu berakhir di sebuah pintu bertuliskan Pintu Kebajikan. Menariknya, tidak hanya umat Kong Hu Chu atau Buddha saja yang datang. “Keturunan Tionghoa yang beragama samawi juga ada yang datang melakukan tradisi Tionghoa menghormati nenek moyang mereka”, ungkap teman belajar kami.
Selepas aktivitas di klenteng, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pasar. Terdapat beragam jenis jajanan, kudapan, sayur mayur, buah-buahan, dan daging. Jajanan yang ada di sana tak jauh beda dengan jajanan pasar pada umumnya, ada bakso, sate, soto, dan sebagainya. Yang unik di pasar tersebut adalah banyak jajanan khas Tionghoa yang biasanya saya temukan pada saat perayaan Imlek di sekolah. Kue Bulan, kue keranjang, dan lainnya.
Yang jarang saya lihat di pasar tempat saya bisa berbelanja adalah di bagian daging, lebih banyak daging babi yang digantungkan ketimbang daging sapi atau ayam. Tidak sampai 1 menit kami sampai di tempat tujuan utama kami bertemu, Museum Benteng Heritage yang berlokasi di pasar tersebut.
ADA APA DI MUSEUM BENTENG HERITAGE?
Museum Benteng Heritage adalah museum Tionghoa pertama di Indonesia. Museum ini mulai dibuka pada tahun 2011 berkat upaya Pak Udaya Halim merestorasi sebuah rumah salah satu keturunan komunitas Cina Benteng untuk menjaga sejarah Cina Benteng.
Menurutnya, rumah tersebut diperkirakan dibangun di pertengahan abad ke-17 dan sudah beberapa kali berganti pemilik. Saat ia dapatkan, rumah tersebut sudah ada beberapa perubahan, namun pada bagian dalam ia jumpai keunikan dan hiasan yang masih ada, termasuk patung dewa. Keunikan dan hiasan tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya, rumah tersebut digunakan oleh komunitas pendidikan.
Di ruang penerimaan tamu, terdapat barongsai berwarna emas, beberapa pigura foto dan lukisan, serta tulisan bijak dalam bahasa Mandarin yang terukir pada papan kayu. Setelah mendengarkan penjelasan singkat di ruang tersebut, kami diajak Pak Udaya Halim masuk ke ruang makan yang berada tepat setelah ruang awal penerimaan tamu museum. Ternyata kami sudah disiapkan jamuan khas Tionghoa.
Sambil menunggu hidangan, kami disuguhi teh. Saya baru tahu ada tradisi khas Tionghoa dalam minum teh. Orang Cina punya kebiasaan jika menuangkan teh, orang yang yang dituangkan tehnya dapat mengucapkan terima kasih dengan cara mengetuk-ngetuk meja dengan dua jari mereka, telunjuk dan jari tengah secara bersamaan. Hal ini ada kaitannya dengan cerita kaisar di Cina yang suka blusukan dan menjadi pelayan. Untuk menutupi identitas, para ajudan dan tentara yang dilayani tehnya mengucapkan terima kasih dengan mengetuk-ngetuk meja dengan kedua jari mereka sebagai simbol tubuh yang bersujud dengan kedua tangan bersimpuh.
Saya mempraktekkannya saat Bu Henny berbaik hati menuangkan teh untuk saya. Kue-kue mulai disajikan. Ada kue keranjang, ada kue bulan, ada banyak lagi yang saya lupa namanya. Sesekali saya melihat ke sekeliling ruang yang banyak dihiasi foto dan lukisan masa-masa wilayah Benteng tempo dulu.
PERAN ETNIS TIONGHOA MENJAGA DAN MELESTARIKAN BUDAYA INDONESIA
Selepas puas dengan hidangan, kami mendapatkan pembelajaran dari Pak Udaya. Ia mengatakan, “penting bagi kita untuk melestarikan sejarah agar kita tidak menjadi bangsa yang lupa sejarah bangsa. Bahwa ia membangun Museum Benteng Heritage sebagai upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah sejarah Tangerang. Bahwa telah lama keturunan Tionghoa dan penduduk asli Tangerang hidup berdampingan di kawasan Benteng”.
Ia mengajak kami ke lantai dua. Di sana terpampang sebuah cetak spanduk dengan gambar Laksamana Cheng Ho. Pak Udaya menyampaikan bahwa ekspedisi Laksamana Cheng Ho ke Nusantara merupakan cikal bakal berkembangnya komunitas etnis Tionghoa. Di antara rombongan Laksamana Cheng Ho singgah dan mendiami Teluk Naga Tangerang. Inilah cikal bakal komunitas Cina Benteng.
Di lantai dua ini saya menjumpai beberapa artefak yang menarik. Di antaranya guci, piring dan mangkok keramik dari dinasti Cina masa lalu, pakaian perempuan dan laki-laki, buku-buku saduran OKT, foto-foto kawasan Benteng masa lalu, botol kecap dan lainnya. Di lantai dua kami juga diundang secara eksklusif masuk ke ruang fotografi Pak Udaya.
Di ruang fotografi Pak Udaya bercerita bahwa pasca tahun 1965, banyak sekali etnis Tionghoa yang mengalami persekusi, termasuk Cina Benteng. Sampai saat ini, rasa kekhawatiran terjadinya persekusi masih ada. Oleh karena itu, pasca 1965 dan kerusuhan 1998 banyak keturunan etnis Tionghoa yang pindah ke luar negeri. Padahal, masih dalam uraiannya, orang-orang etnis Tionghoa juga punya rasa cinta tanah air. Mereka juga punya peran dalam membentuk budaya Indonesia. Dalam budaya kuliner, banyak sekali unsur-unsur Cina dalam makanan di Indonesia. Sebut saja Bakpia, Lumpia, Wingko, Bakso, dan sebagainya.
Orang Tionghoa juga punya peranan dalam usaha kemerdekaan Bangsa Indonesia. Perusahaan Rekaman Yo Kim Tjan di Gunung Sahari menjadi tempat pembuatan master lagu Indonesia Raya termasuk yang versi keroncong. Rumah tempat diserukannya Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II di Jakarta merupakan kediaman keluarga etnis Tionghoa. Sedihnya rumah tersebut diambil paksa oleh negara pasca tragedi 1965. Baru pada tahun 2018 rumah tersebut dihibahkan ke negara oleh ahli waris rumah tersebut melalui upaya Pak Udaya Halim menjembataninya. Banyak juga orang-orang Tionghoa yang terlibat dalam BPUPK, Kongres Pemuda, penyebaran lagu Indonesia Raya, dan sebagainya. Namun, peranan mereka banyak dihilangkan dalam sejarah. Perlu upaya yang jernih dan terbuka untuk keutuhan sejarah bangsa kita.
PENDIDIKAN KUNCI MENDORONG KEMANUSIAAN
Ada rasa senang, kecewa, dan haru di dada. Berkunjung ke MBH memberikan kesenangan bagi saya, seperti mendapatkan kepingan puzzle yang hilang dalam sejarah peradaban dan budaya bangsa. Saya senang mendapatkan banyak sekali informasi mengenai sejarah daerah kota lama, sejarah datangnya orang Cina di Kota Lama, belajar beberapa kebiasaan orang Cina yang menurut saya menarik: disiplin, rasa hormat kepada yang dituakan. Rasa kecewa saya yang muncul didasari atas masih buruknya perlakuan kepada etnis TIonghoa yang dilakukan berdasarkan prasangka baik oleh individu maupun pemerintah.
Peranan orang-orang Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan perlu diungkap dan diakui sejajar dengan peranan para pejuang lainnya. Hak-hak orang Tionghoa yang dirampas pasca 1965 menurut saya perlu dikembalikan. Selain itu, perlu upaya perjumpaan agar prasangka dapat dikoreksi. Dalam hal ini, pendidikan menjadi upaya kunci dalam menyiapkan generasi yang sadar keragaman, kebangsaan dan punya empati kemanusiaan. [AI/FI]
 
Ade Irawan adalah Guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Global Mandiri Cibubur, sekaligus peserta Sekolah Guru Kebinekaan Rujukan 2019. Ade Irawan menjadi satu diantara guru yang berkesempatan untuk mengunjungi Museum Benteng Heritage Tangerang yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru atas undangan pak Udaya Halim.
 
___
[catatan: Frasa Tionghoa dan Cina digunakan secara bergantian dalam artikel ini. Frasa 'Cina' yang digunakan di sini lebih merujuk pada orang-orang di daratan Tiongkok dan yang meninggalkan Tiongkok dalam pelayaran ke berbagai wilayah. Frasa Tionghoa lebih kepada mereka yang sudah menetap dan hidup di Nusantara]
Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.