14
Feb 2023
Tak Ada Rotan Akar pun Jadi
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 

Laila Nazier

Saya mengajar di SD Negeri Rawajati 06, Jakarta Selatan. Saya ingin anak-anak belajar toleransi dengan mengenal keragaman agama di Indonesia sejak kecil. Tapi bagaimana caranya? Apakah anak-anak harus saya ajak berkunjung ke rumah-rumah ibadah yang beragam seperti yang dilakukan oleh guru peserta SGK lainnya? Tentu butuh banyak persiapan.
Tak Ada Rotan Akar pun Jadi
Fasilitas di sekolah saya tidak melimpah. Namun, tak ada rotan akar pun jadi. Kunjungan rumah ibadah tetap dilakukan dalam bentuk simulasi. Bersama bu Uswah Hasanah, rekan guru yang sama-sama belajar di SGK, saya mulai mempersiapkan kunjungan istimewa itu. Gambar-gambar di tempel di pojok-pojok kelas. Gambar tempat ibadah, kitab suci, hari raya keagamaan, dan sebutan untuk pemuka agama. Semuanya memanfaatkan kalender bekas.
Ada enam pojok yang mewakili enam di antara ragam agama atau kepercayaan di Indonesia. Ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu. Masing-masing dijelaskan secara ringkas. Setelah itu, saatnya bermain.
"Anak-anak, ayo berbaris. Hari ini kita akan melakukan kunjungan rumah ibadah," kata saya semangat. Anak-anak antusias membentuk kelompok dan berbaris. Setiap kelompok menuju pojok berbeda untuk mempelajari informasi yang tersedia melalui gambar-gambar yang ditempelkan oleh saya dan bu Uswah. Kelompok harus berpindah atau bergeser ke pojok berikutnya setiap kali peluit dibunyikan.
Priiiittttttttttt....
"Ayo berpindah!"
Anak-anak antusias melakukan 'kunjungan' dan berpindah dari satu pojok ke pojok lain sambil belajar keragaman. Seru sekali. Padahal ini baru simulasi saja, bukan kunjungan sungguhan. Menyenangkan. Tak terbayang bila suatu saat mereka bisa benar-benar berkunjung ke rumah-rumah ibadah itu.
Alami dan Rayakan Keragaman
Metode ini juga saya gunakan ketika memperkenalkan Pancasila dan ragam budaya. Pengawas dan Kepala Sekolah mengapresiasi aktivitas belajar yang saya lakukan, anak-anak juga senang. Tentu, saya juga senang.
Di kelas, anak-anak diberi kesempatan yang sama untuk memimpin doa. Apapun agamanya. Bahkan dalam kegiatan ekstrakurikuler yang saya bina seperti Dokter Kecil dan Pramuka, pembiasaan ini juga dilakukan. Keragaman itu perlu dialami dan dirayakan. [LN]
 
Nurlela adalah guru di Sekolah Dasar Negeri Rawajati 06, Jakarta Selatan. Ia peserta Sekolah Guru Kebinekaan 2016 dan SGKR 2019 yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru. Nurlela merupakan satu di antara guru-guru yang memperkuat Tim Fasilitator YCG.
Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.