12
Oct 2022
Pancasila Dalam Laku Pendidikan
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 

Memahami Pancasila bukan hanya soal mengingat-ingat pasal yang ada, tetapi pancasila perlu menjadi laku dalam kehidupan warga Indonesia. Kata “laku” jika diartikan dalam bahasa Jawa adalah adanya kesatuan antara pikiran, hati/perasaan, dan perbuatan. Pancasila bukan pengetahuan, nilai-nilainya harus ada dalam diri kita sehingga setiap langkah kita mencerminkan sila dalam Pancasila.

Prof. Tilaar menyebutkan dalam pertemuan Sekolah Guru Kebinekaan tahun 2016, “Kita punya satu kata yang hilang dalam dunia pendidikan yaitu kemandirian. Yang saya maksudkan dengan kemandirian adalah kebebasan berpikir, bersikap dan berpendapat.” Prof. Tilaar dengan sangat jelas melihat kemandirian ini hilang dalam dunia pendidikan kita, dan ini adalah satu peringatan yang sebetulnya perlu menjadi refleksi ketika kita bicara mengenai profil pelajar Pancasila. Karena sesuatu yang seharusnya ada dalam pikiran kita, dalam hati kita, dan dalam langkah kita sangat butuh kemandirian. Tanpa itu tidak akan mungkin terjadi bahwa nilai itu merasuk ke dalam diri kita.

Selaras dengan apa yang disebutkan oleh Prof. Tilaar tentang nilai yang ada pada diri kita. Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan tiga pusat pendidikan (Tri Sentra Pendidikan) yang mempengaruhi nilai pada diri kita yaitu, alam keluarga, alam pendidikan, dan alam pergerakan. Tiga pusat pendidikan inilah yang mempengaruhi dasar tumbuh kembang nilai yang ada pada setiap manusia. Prof. Tilaar menambahkan tiga pusat pendidikan tadi dengan negara dan global. Negara dalam hal ini mempengaruhi nilai-nilai diri kita melalui kebijakan.

Ketika membicarakan pancasila, kita perlu membedakan antara kompetensi abad 21 (kritis, kreatif, kerjasama, dan komunikatif) dengan nilai-nilai pancasila yang dasarnya sudah ada dalam diri kita. Nilai-nilai yang membuat langkah kita itu kita pikirkan kembali ketepatannya. Ki Hadjar Dewantara mengatakan, “Janganlah membiasakan memberi hukuman dan penghargaan begitu saja.” karena kebiasaan itu tidak memunculkan kemandirian seseorang, sehingga dia tahu persis kesalahannya di mana dan kemudian memperbaikinya. Ketika ada yang dilanggar maka kita harus tegas mengatakan, kamu melanggar, kamu sudah melewati batas karena ini dibutuhkan untuk bisa terus memegang nilai-nilai itu dan inilah nilai-nilai Pancasila.

Kutipan dari Sastrapratedia dalam bukunya Pendidikan Dalam Humanisme mengatakan, nilai Pancasila itu akan terlihat bila seseorang hormat pada keyakinan atau kepercayaan semua, mengangkat atau menjunjung martabat manusia, menjunjung dan mengutamakan kesatuan, memihak pada demokrasi ketika kedaulatan ditangan kita semua, serta keadilan sosial dengan menyebut kesamaan derajat dan pemerataan yang merupakan terjemahan dari equality and equity. Semua ini lebih mudah untuk dilihat dalam kelima nilai Pancasila yang seharusnya ada dalam profil seorang pelajar yang Pancasilais. Bahwa kemudian memiliki kompetensi abad 21 itu memang dibutuhkan untuk masa depan, tapi dasarnya kelima nilai ini tidak bisa dipilih, semua harus ada dan semua berkaitan dengan dasarnya yaitu kemanusiaan.

Presiden Sukarno menyebutkan gotong royong untuk kelima sila Pancasila. Ia menyebut gotong royong sebagai Ekasila. Ketika melakukan gotong royong, kita sedang melakukan penghormatan kepada semesta sebagai bagian dari perwujudan nilai spiritual dalam sila pertama Pancasila. Gotong royong dilandasi nilai kemanusiaan dalam sila kedua. Kemajemukan bangsa merupakan kekuatan nilai kebinekaan dalam persatuan. Gotong royong merupakan wujud dari permusyawaratan yang mengutamakan nilai kesetaraan. Pada saat berbicara nilai kemanusiaan di dalamnya juga mengandung sikap keadilan.

Bagaimana melakukannya

Nilai-nilai Pancasila dapat dibuat lebih konkret dengan menyadari bahwa setiap diri berharga. Pengalaman tiap orang unik yang tidak dimiliki lainnya. Butuh kemandirian untuk bisa menemukan apa yang menjadi kekuatan diri, kekuatan lingkungan, dan menggunakan keduanya untuk kebaikan dan perbaikan bersama. Kesadaran akan kekuatan diri dan lingkungan dapat membantu untuk mewujudkan hal-hal baik di sekitar kita. Sebagai contoh sekolah menengah pertama negeri di Sragen yang memiliki program “Jogo Konco” atau “menjaga teman” di kala Pandemi. Program ini bekerja sama dengan BKKBN tingkat kecamatan dan kelurahan untuk mencegah perkawinan anak yang merebak di saat pandemi karena keterbatasan pertemuan secara langsung. Secara bergandengan tangan melalui pertemuan virtual, murid yang memiliki isu perkawinan anak mendapat penguatan dari teman-temannya agar tidak terjerumus dalam perkawinan anak.

Contoh lain mengenali kekuatan lingkungan seperti yang dilakukan SMP Negeri 4 dan SMP Negeri 9 kota Ambon. Kedua sekolah tersebut melakukan “Pela Pendidikan” saling mengikat janji tidak ingin pengalaman pahit kerusuhan terulang kembali di Ambon. Pela Pendidikan menggandeng gereja dan masjid di sekitar sekolah sebagai kekuatan lingkungan. Kedua program yang telah dilakukan oleh sekolah di Sragen dan Ambon adalah contoh bagaimana menggunakan kekuatan yang ada sesuai dengan isu di sekolah masing-masing.

Penumbuhkembangan Nilai

Memberikan kepercayaan kepada anak didik dalam menentukan isu yang ingin diangkat merupakan salah satu upaya dalam mendorong kemandirian anak. Suara setiap anak didik berharga untuk didengar, melibatkan anak dalam dialog penting dilakukan karena belum tentu gagasan yang kita sampaikan sesuai dengan kemauan anak didik. Pilihan diksi juga penting untuk diperhatikan. Pilihan diksi yang tidak tepat dapat membuat anak merasa tidak dihargai bahkan merasa terhapus eksistensinya. Jadikan semua kesempatan menjadi ruang perjumpaan dimana semua yang berbeda saling memperkaya untuk menumbuh kembangkan nilai-nilai luhur.

Anak didik perlu ditanya sila mana yang paling dekat dengan mereka dari sila-sila Pancasila. Jawaban mereka penting untuk menjadi cermin bagi guru, sejauh mana kita betul-betul sudah menumbuhkembangkan laku pancasila yang sejalan antara akal sehatnya, hati dan langkahnya. Tiga hal itu harus sejalan dengan melibatkan dan mendengarkan anak didik. Kalimat yang berkesan dari Rumi seorang filsuf dari Persia, “There’s a voice that doesn’t use words, listen!”. Ada suara yang tidak memakai kata-kata, dengarkan!. Jika kita bisa mendengarkan suara tanpa kata-kata itu, maka yang kita lakukan sudah menyatukan antara pikiran kita, perasaan kita dan langkah kita. Salam Pancasila! [AK]

Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.