
Minggu, 21 Agustus 2022 Yayasan Cahaya Guru menghadiri Workshop Serial Diskusi Muda Berbudi Luhur - Bagian I dengan topik “ Memaknai Filosofi Sastra Jendra Rahayu Ningrat (Sesajen)” di Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih Kabupaten Bandung. Dalam kegiatan ini turut hadir kawan-kawan pemuda jaringan keragaman, akademisi, masyarakat, serta perwakilan dari pemerintah.
Nata Sajen (menata sajen) menjadi aktivitas pertama. Para perempuan Penghayat Kepercayaan dari berbagai usia, membawa pelbagai macam sesajen ke sebuah tempat yang sudah dipersiapkan. Di tengah-tengah sajen, terdapat miniatur bendera kebangsaan Indonesia. Simbol bentuk kecintaan Aliran Kebatinan "PERJALANAN" terhadap tanah air.
Setelah Nata Sajen, dilakukan Rajah Pamuka hal yang saya tangkap dari kegiatan tersebut adalah ungkapan terima kasih kepada para leluhur, terhadap pelbagai jasa-jasa yang masih terasa hingga masa kini, kemudian dilakukan Pineja dan Hening Cipta yang dipimpin oleh tokoh dari Aliran Kebatinan "PERJALANAN".
Hening cipta yang dipimpin oleh tokoh Aliran Kebatinan "PERJALANAN" terasa berbeda. Ketika hening cipta, suasana benar-benar hening. Tidak ada suara aktivitas manusia. Kami diajak mendengar semesta dengan lebih baik agar dapat menyelami makna dan posisi semesta bagi manusia.
Belajar Dari Sastra Jendra
“Sastra Jendra Ayu Ningrat adalah Tulisan Tuhan yang Maha Agung, atau mengajarkan pelbagai ajaran Tuhan yang dapat dibaca serta memiliki manfaat terutama untuk yang membacanya”, ungkap Ujang Sumarna, salah satu pemateri hari itu. Menurutnya, sajen ternyata akronim dari Sastra Jendra yang memiliki arti Tulisan Agung.
Sajen merupakan media dalam pelbagai tradisi masyarakat Nusantara, yang lekat dengan makna filosofis dalam menyikapi kehidupan dan penghidupan dengan semesta. Satu diantara dari banyak pemaknaan, dimiliki oleh kawan-kawan Penghayat Kepercayaan dari Aliran Kebatinan "PERJALANAN" yang termaktub dalam Sastra Jendra Ayu Ningrat (Sesajen).
Sayangnya, sastra jendra kerap kali mendapatkan prasangka dari pelbagai pihak, karena ketidaktahuan serta tidak melakukan konfirmasi dan verifikasi terhadap sastra jendra. Prasangka yang kerap kali muncul antaranya dihubungkan dengan klenik, mistis, penyembahan berhala dan lain sebagainya.
Menurut Ujang Sumarna, prasangka tersebut tidak benar, karena sastra jendra merupakan metode pembelajaran yang dibangun oleh nenek moyang, melalui interaksi dan komunikasi dengan apapun yang ditemui dan terlihat di dunia ini, diikuti dengan pembacaan ulang dan pemaknaan sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
“Leluhur kita dahulu luar biasa sekali, karena memandang bahwa dalam semesta ini sebagai kitab (buku), yang menjadi jilidnya Bumi dan Langit, tulisannya segala sesuatu yang ada di dalam Bumi dan Langit, oleh karenanya, hadirlah Sastra Jendra atau Tulisan Agung sebagai Wujud adanya belas kasih Tuhan yang Maha Agung disetiap Sastra”, papar Ujang Sumarna.
Ruang Jumpa Melalui Sastra Jendra
Tak hanya mendapatkan pelbagai materi tentang Sastra Jendra dari kawan-kawan Aliran Kebatinan "PERJALANAN", kami para peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut berkesempatan melihat pelbagai seni kebudayaan yang dijaga serta dilestarikan, seperti karawitan, pencak silat, tarian, celempungan, hingga kesenian pantun khas sunda.
Setelah seluruh materi diberikan, seluruh peserta dibagi dalam beberapa kelompok dan diberikan tugas untuk menata sesajen. Diksi yang digunakan oleh kawan-kawan Aliran Kebatinan "PERJALANAN" adalah menata, bukan membuat. Menurut satu diantara pemateri, “Kita hanya mampu menata sesajen yang ada, pun yang membuat adalah Tuhan yang Maha Esa”.
Dalam aktivitas terakhir tersebutlah, kami berkesempatan untuk berkomunikasi dan berkolaborasi, dan yang paling menyenangkan kami dapat bertukar informasi tentang pelbagai kepercayaan yang ada di Jawa Barat. Kesempatan tersebut kami maksimalkan sebaik mungkin, sehingga kami dapat belajar satu sama lain terhadap penggalian makna sesajen dari beragam sisi pandang.
“Kegiatan ini baru pertama kali kami selenggarakan, harapannya kegiatan ini dapat memberikan pengetahuan terhadap makna filosofis serta esensi yang terkandung pada sesajen, yang sudah berkembang di masyarakat kepercayaan. Selain itu, harapan kami dengan diselenggarakannya kegiatan ini dapat terjalin hubungan dengan pelbagai kalangan, untuk dalam saling berkolaborasi dan menginspirasi”, ungkap Yanti Oktaviani Ketua Panitia. [FI]