
Desember 2020, sebulan sebelum SGK.
Yayasan Cahaya Guru (YCG) dan Sekolah Guru Kebinekaan (SGK), duaduanya hal baru bagi saya. Apa itu SGK? Program apa itu? Kegiatannya seperti apa? Akhirnya akan bagaimana? Hmm ... banyak pertanyaan bermunculan saat saya mempersiapkan diri untuk bergabung.
“Hati-hati jadi ajang penyebaran agama lain,” kata teman saya. Ia menganggap SGK mungkin semacam ajang misionaris mengambil kesempatan. “Awas ... hati-hati jika berinteraksi dengan orang berbeda agama,” timpal teman saya yang lain. Ia mengatakan bahwa temannya ada yang berubah sejak berinteraksi dengan orang yang berbeda agama. Itulah kalimat yang terdengar dari teman saya.
Saya memang terbiasa untuk ngobrol dengan teman-teman saya. Seperti lingkaran pertemanan pada umumnya, obrolan kami kadang serius, kadang ditanggapi dengan candaan. Mereka mungkin ada yang menanggapi kerisauan saya dengan serius, ada yang bercanda, ada yang mungkin asal saja berpendapat. Terlepas dari semua itu, saya tiba pada satu pertanyaan besar: “saya harus berhati-hati terhadap apa?”
Dari obrolan dengan teman-teman, saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Yah sudah, saya mendaftar saja di SGK. Mungkin di sana saya menemukan jawaban itu. Berkas-berkas saya siapkan dan kirim. Selang beberapa waktu. YCG menghubungi saya untuk proses wawancara.“Teman-teman belajar di SGK nanti bukan hanya dari satu etnis dan agama,” kata pewawancara saya saat berbagi informasi di akhir.
“Jika memang benar saya lulus seleksi dan diterima sebagai peserta SGK, ini akan jadi pengalaman pertama saya berinteraksi dengan orang yang berbeda agama,” bisik saya dalam hati. Interaksi ini tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali karena SGK berlangsung dalam sepuluh sesi. Sedikit rasa khawatir menjalari hati.
Selama 24 tahun, saya selalu berada dan bertemu dengan orang-orang yang berlatar belakang sama. Berinteraksi dengan orang-orang Muslim. Belum pernah saya mendapatkan pengalaman berinteraksi langsung dengan seseorang ataupun sekelompok orang yang di luar agama Islam. Bahkan saya tidak memiliki pengalaman berjumpa orang-orang dari beragam agama saat kuliah dulu. Lingkungan saya cenderung homogen karena saya menempuh pendidikan Madrasah Aliyah (setara dengan SMA) dan perkuliahan di lingkungan pesantren. “Anda dinyatakan lulus sebagai peserta Sekolah Guru Kebinekaan Bandung 2021,” kabar itu saya terima beberapa minggu kemudian. Seharusnya saya merasa senang karena lolos seleksi. Nyatanya, saya justru bingung. Sejujurnya saya masih diliputi kekhawatiran. “Apa saya harus mengundurkan diri ya?”
“... tapi penasaran juga seperti apa interaksi dengan orang yang berbeda.” saya pun memberanikan diri ikut walau khawatir belum jua hilang.
***
Tahun 2021 yang luar biasa.
Untuk pertama kalinya, saya berjumpa dan berinteraksi secara terus -menerus dengan beragam orang di luar etnis saya. “Luar biasa!” sepertinya itu kata yang tepat untuk melukiskan perjalanan saya mengikuti SGK. Banyak hal yang saya dapatkan. Wawasan saya bertambah, pertemanan saya meluas, pengalaman-pengalaman unik dan menarik saya nikmati walaupun secara virtual.
Di forum ini, saya diberikan ruang dan kesempatan untuk lebih mengenali, menggali dan memahami sesuatu yang ada di luar saya, baik dari segi kepercayaan maupun kebudayaan. Bukan sekadar ‘katanya’ tetapi langsung dari sumbernya. Sedikit demi sedikit saya menemukan jawaban-jawaban pertanyaan dulu dan bahkan banyak jawaban yang pertanyaannya saja belum terpikirkan.
***
"Dulu saya pernah bercerita tentang SGK, masih inget nggak?” ucap saya suatu hari saat dalam obrolan santai dengan teman-teman di lingkungan saya.
“Iya ingat, jadi bagaimana dengan pelatihan SGK yang kamu ikuti?” tanya teman saya.
“ Asyik! Menarik! Tertarik!” kata saya mantap.
“Masih mau ngelanjutin? Emang nggak khawatir?” sontak teman saya membalas. Rona penasaran tak dapat disembunyikan dari raut wajahnya.
Saya berbagi pengalaman kepada mereka. Apa yang saya dapat dan saya terima. Walaupun mereka tidak menerima sepenuhnya secara langsung, mereka tidak langsung menolak. Perubahan membutuhkan proses dan proses membutuhkan waktu. Saya meyakini bahwa kita akan makin mudah menerima perbedaan bila membuka pikiran dan membuka diri. Semua itu dapat dilakukan tanpa melepas prinsip dan pedoman yang sudah dipegang teguh.
“Kekhawatiran saya di awal memudar. Ternyata tidak seperti yang banyak dikatakan orang. Rasa penasaran saya justru semakin menguat. Penasaran hal-hal tentang ‘mereka’!”
“Kenali lebih rinci, bukan langsung membenci!”
Ya, persepsi saya tentang orang-orang yang berbeda agama atau keyakinan dengan saya berubah. Hal itu memberi pengaruh besar pada hidup saya. Pengalaman perjumpaan itu akan saya jadikan bahan dasar dalam mengenalkan keragaman kepada siswa sekaligus meretas dan mencegah prasangka.
Saya teringat dengan dalil QS al-Hujurat ayat 13, yang mana manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Dulu pemahaman saya tentang ayat ini dibilang sempit. Sekarang saya lebih memahami bahwa frasa bersuku-suku, berbangsa-bangsa dan mengenal itu memiliki cakupan yang luas dan erat dengan keragaman, kebangsaan dan kemanusiaan.
Banyak dari kita yang terlalu cepat berprasangka tanpa tahu asal mula. Perbedaan ada untuk saling mengenal dan memahami. Bertemanlah dengan orang di luar kita dan hilangkan prasangka.
“Moga kalimat ‘hati-hatilah jika berinteraksi dengan umat lain’ suatu saat berubah menjadi ‘berhatilah jika berinteraksi dengan mereka yang berbeda,” harap saya. [KUN/GS]