"Pak Guru, si Neneng teh sudah ada yang melamar. Calon mantu sudah ada! Ini urusan keluarga, bukan urusan sekolah. Buat sekolah saya mah sudah gak punya biaya!"
Tapi benarkah menghentikan anak perempuan sekolah dan menikahkan mereka adalah solusi mengatasi kemiskinan? Guru-guru di SDN 01 Cisarua Purwakarta menjawab 'tidak'! Justru mengumurpanjangkan kemiskinan. Pancasila dalam laku pendidikan bagi mereka yaitu menghentikan pernikahan anak.
Inisiatif guru-guru bersifat organik. Mulai dari mendatangi setiap keluarga, mengajak orang tua memperhitungkan dampak jangka panjang, sampai memberi sanksi sosial di mana tak ada satu pun guru yang bersedia menghadiri undangan pernikahan bila yang menikah masih usia anak.
"/>

11
Jun 2022
Ancaman yang Berakibat Kebaikan
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 

Ancaman yang Berakibat Kebaikan

Kenangan ini masih membekas di benak. Siang hari di tepi sawah tak jauh dari sekolah tempatku mengajar, SDN 01 Cisarua. Para bapak, seperti biasa, masih melarang anak perempuannya untuk bersekolah. “Jangan sampai si Karlina teh jadi perawan tua!” begitu sergah seorang bapak dengan ikatan kain di kepala. Di daerah kami, pada waktu itu, perempuan berusia 15 tahun yang belum menikah sudah dianggap sebagai perawan tua. Sulit sekali meyakinkan para orang tua.

Sampai suatu ketika, muncul keberanian dari dalam diriku untuk “melawan” mereka. “Bapak bisa bayangkan nggak kalau cucu Bapak nanti dididik oleh ibu yang punya pendidikan. Pasti teh seneng pisan.” Aku memandang beberapa bapak yang semula masih mengajak anak perempuannya pulang. Mereka mulai memandang ke arahku. “Coba, kalau anak bapak dinikahkan karena alasan miskin, ke sananya akan makin miskin tanpa pendidikan. Bapak harusnya kan lihat, kalau pendidikan anak lebih tinggi, pasti akan bisa lebih diperhitungkan, tidak akan tertipu orang. Belum lagi pergaulan jadi luas, tidak minder.”

Dalam hati aku bersyukur, karena beberapa bapak mulai mengangguk-angguk. “Kalau dinikahkan, meskipun berkurang satu perut pada dasarnya sama saja. Ketika rumah tangga kacau akan nambah perut kan kalau anak dan cucu balik ke rumah? Sekarang bayangkan, misalnya, anak bapak kalau masih kecil sudah jadi janda, beban bapak gimana? Bertambah bukan?”

Tak jarang, aku harus mendatangi para murid perempuan ke rumahnya. Beberapa orang bapak marah saat kudatangi. Kenapa?

“Pak Guru, si Neneng teh sudah ada yang me lamar. Jadi calon mantu sudah ada! Lagipula, ini urusan keluarga bukan urusan sekolah. Buat sekolah saya mah sudah gak punya biaya!”

“Tetap saja bapak mengeluarkan biaya biar si Neneng tidak sekolah,” jawabku. “Beda nya, kalau sekolah  bisa dapat ilmu. Kalau nggak punya uang, ajak anak berjuang. Saya juga dulu begitu. Waktu SMA saya jualan bajigur di sekolah. Waktu SMP saya jualan es di lapangan bola. Saya juga jualan gambar ke anak SD, tokoh Dragon Ball yang waktu itu populer banget”.

Pada masa itu, murid-murid  perempuan banyak yang datang kepadaku. Mereka minta tolong karena sudah mau dinikahkan. Mereka tidak mau. Biasanya aku segera mendatangi rumah mereka, bertemu ayah mereka, dan berusaha membujuk anak perempuannya agar mengambil paket pelajaran.

Ancaman Berbuah Kebaikan

Saat anak-anak perempuan sudah masuk sekolah dasar, tak jarang ada yang meminta izin untuk menikah. Biasanya, aku langsung mengacam mereka. “Guru-guru nggak akan datang  menghadiri pesta pernikahan, kalau kalian belum lulus SMP.” Waktu itu target kami adalah anak-anak mencapai sekolah menengah pertama (SMP). Kami, para guru semakin keras menerapkan peraturan saat ada seorang murid, yang menjadi janda pada usia 16 tahun. Saat itu, ada pula murid kami yang meninggal saat melahirkan. Bu Kayah, sebagai kepala sekolah saat itu, mengajak kami untuk menolak perkawinan di usia dini. Perkawinan usia anak pada saat itu banyak terjadi karena tidak ada guru yang berasal dari daerah kami. Pada saat itu di daerah kami jarang yang dapat mencapai sekolah menengah atas.

Peristiwa di masa lalu itu kini menjadi kenangan manis buatku. Sejak tahun 2007 kami mendorong agar perkawinan usia dini terus diperbincangkan. Kaum perempuan harus bersekolah karena yang mendidik anak-anak nantinya juga kaum perempuan. Akupun bersyukur bisa bertemu dan belajar dengan Yayasan Cahaya Guru dan mengikuti program-program peningkatan kapasitas seperti Sekolah Guru Kebinekaan Lanjutan (SGKL). Topik Keragaman dalam Kesetaraan Gender di SGKL semakin menambah keyakinan akan pentingnya kesetaraan dan pemberian hak pendidikan kepada semua murid tanpa memandang gender. Dari pertemuan tersebut juga, semakin menguatkan diriku untuk terus melakukan perubahan dan inovasi dalam pembelajaran.

Ekskul Pertanian

Siang itu di tepi sawah, dengan hati bangga, aku menatap murid-muridku, baik perempuan maupun lakilaki yang bekerja sama dengan riangnya menanam benih padi. Pertanian adalah ekstra kurikuler khas di SDN Cisarua 01 tempat aku mengajar.

“Jaraknya diatur ya, Nak! Jangan terlalu rapat!” ujarku saat melihat salah satu muridku meletakkan benih padi berdekatan. Kegiatan di bidang pertanian ini, kuakui, mendorong terciptanya pola pikir siswa untuk lebih mensyukuri alam pemberian Tuhan YME. Mereka juga merasakan adanya keadilan terhadap semua siswa. Jika mereka sudah merasa demikian maka akan tertanam kecintaan terhadap tanah airnya. Mereka dapat melakukan sesuatu sesuai peraturan. Mereka melakukan kegiatannya disertai semangat ke bersamaan.

Kegiatan yang dilakukan akan sangat bermanfaat di masa yang akan datang. Selain ilmu pengetahuan mereka juga merasakan langsung bekerja sama dengan alam melalui kegiatan pertanian. Hampir setiap elemen sekolah terlibat pada kegiatan ini. Siswa sebagai pem belajar secara nyata melakukan kegiatan yang telah diprogramkan di sekolah. Hal ini tidak terlepas dari peran orang tua yang memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan di sekolah.

Beberapa murid laki-laki tampak mengayunkan cangkulnya untuk mengolah tanah basah di petak sawah yang lain. Lahan yang kami miliki cukup besar. Memang, lahan yang kami garap sekarang ini bukanlah lahan milik sekolah namun merupakan milik perseorangan yang entah sampai kapan akan memberikan izin untuk dipergunakan sebagai sarana belajar siswa kami.

“Hati-hati, Sep!” tegurku pada salah satu murid yang mulai bercanda dengan temannya. Peralatan pertanian seperti cangkul, parang, arit dan sebagainya selama ini mengandalkan pinjaman dari orang tua mereka.  

“Iya, Pak. Ini si Deden maunya bercanda terus!” jawab Asep. Ekstra kurikuler pertanian ini telah berlangsung kurang lebih 4 tahun. Siswa menjadi lebih peka dan terbiasa dengan proses bercocok tanam. Mereka lebih mengetahui masa atau waktu pengolahan, penanaman, penyiangan, pemupukan hingga pemanenan. Kegiatan ini juga berdampak terhadap sekolah yaitu mendapat dorongan serta perhatian lebih dari pengawas ataupun sekolah sekitar. Banyak dari sekolah yang mengetahui hal ini mulai mengikuti dengan memanfaatkan lingkungan yang ada.

“Pak, kasihan si Titin, sebentar lagi dia jadi perawan tua!” masih terngiang ucapan seorang bapak di masa lalu. Masa kelam bagi anak-anak perempuan, yang kini telah hilang tertelan waktu.

Sumber: Cahaya Bineka Taman Bangsa (Yayasan Cahaya Guru, 2018) | Ilustrator: Mochamad Chaerudin | Pencerita: Dian Misastra (Guru SDN 01 Cisarua Purwakarta)

Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.