
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari masyarakat yang beragam. Salah satu fakta keragaman yang cukup nyata yaitu keragaman agama atau kepercayaan. Setiap agama atau kepercayaan memiliki tradisi. Beberapa tradisi mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya lokal. Ada tradisi keagamaan yang secara umum dianggap milik agama atau kepercayaan tertentu, namun bila digali lebih dalam, juga dapat ditemukan dalam tradisi agama atau kepercayaan lain dengan ragam bentuk dan pemaknaannya. Satu di antaranya yaitu puasa dan/atau berpantang. Puasa merupakan bagian dari aktivitas keagamaan. Di berbagai agama dan keyakinan, masing-masing memiliki tradisinya sendiri-sendiri.
Yayasan Cahaya Guru mengadakan kegiatan seminar online (webinar) Diskusi dan Refleksi bertema “Puasa dalam Tradisi Ragam Agama atau Keyakinan” (9/4). Acara ini didukung oleh Insight Investments Management (IIM). Webinar dilaksanakan melalui aplikasi Zoom dimulai pukul 09.00 WIB yang diikuti lebih dari 150 partisipan dari berbagai wilayah di seluruh Indonesia.
Beberapa narasumber hadir membahas puasa dari perspektif agama atau keyakinan yang dianutnya di antaranya Djuwita Djatikusumah (AKUR Sunda Wiwitan), Nisa Alwis (Pesantren Darul Iman Pandeglang, Banten), Suster Fransiska Imakulata, SSpS (TRuK-F Maumere, NTT), Nyoman Udayana Sangging (Pasraman Aditya Jaya Rawamangun) acara dimoderatori oleh Hofni Pinehas Tafuli guru di IGCSE Jakarta Academics dan peserta Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) 2017.
Djuwita Djatikusumah dari komunitas warga Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur Kabupaten Kuningan, Jawa Barat menyampaikan bahwa puasa dilakukan untuk mengendalikan diri dalam proses pemurnian kembali pada jati diri manusia. Puasa juga tidak hanya makan dan minum, tapi juga mengolah rasa dalam menggunakan indera. Berupaya menjaga apa yang dilihat dan didengar.
“Berpuasa itu bukan hanya kita tidak makan dan minum, namun juga mengolah raga dan rasa kita dalam menggunakan indera kita, pengendalian laku juga penting. Bagaimana kita mengendalikan diri untuk tidak mendengarkan dan mengucapkan apa yang tidak pantas. Puasa ini menjadi cara untuk kita mengendalikan nafsu-nafsu kita, sehingga terjadinya pemurnian diri” ujar Djuwita Djatikusumah.
Dalam ajaran agama Hindu, puasa dilakukan sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan menghindari tiga perbuatan yang akan mengantar jurang kehancuran manusia yaitu Kama (penuh nafsu), Krodha (pemarah), Lobha (serakah). Dengan puasa tersebut, menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak diperbudak nafsu, amarah dan keserakahan.
“Di dalam puasa ajaran Hindu tujuannya untuk pengendalian diri, kami percaya bahwa manusia akan melalui tiga gerbang pintu neraka jika melakukan tiga perbuatan buruk yaitu Kama (penuh nafsu), Krodha (pemarah), Lobha (serakah). Jadi puasa dilakukan untuk mengendalikan tiga sifat buruk ini.” kata Nyoman Udayana Sangging.
Nisa Alwis menyampaikan Puasa/shaum merupakan ritual rahasia, dimana hanya diketahui hamba dan Tuhan. Hal ini bersifat personal, namun puasa/shaum ini menjadi bersifat sosial dengan tuntunan mengeluarkan zakat. Hadist yang menyatakan jika bulan puasa datang, pintu-pintu syurga dibuka, pintu neraka ditutup, dan syaitan dikekang, merupakan metafora agar mendorong manusia meraih fitri pada akhir ramadhan. Hadist ini motivasi agar menggalakkan diri mengerjakan kebaikan sebanyak mungkin dan menghindari kemaksiatan.
Dalam ajaran Katolik, Suster Fransiska Imakulata mengatakan puasa berdampak sosial untuk membantu sesama yang membutuhkan. Jika orang berpuasa hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh bukan karena ingin dilihat orang lain.
“Puasa dilakukan untuk mematahkan belenggu dan memerdekakan orang yang teraniaya. Jadi nilai utama dalam berpuasa bagi kami adalah untuk kebaikan sosial. Kemudian dalam perjanjian lama yang ditulis oleh para nabi, diajarkan untuk berdoa secara khusyuk, dalam konteks berpuasa dilakukan secara sungguh-sungguh tidak untuk dilihat oleh orang lain. Begitu juga dalam hal bersedekah. Untuk itu bagi umat Katolik, ketiga hal ini doa, puasa, dan bersedekah dilakukan bersamaan.” ujar Suster Fransiska Imakulata.
Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo menutup acara dengan mengingatkan kembali peran guru untuk berefleksi di saat puasa, melihat sisi baik yang ditemuinya sebagai pendidik. “Saya ingin menarik pembicaraan kita tadi mengenai peran guru karena kita semua adalah guru, membaca simbol-simbol semesta ketika berpuasa ini mengajarkan kita untuk melihat perspektif positif, melatih hening, merasakan suara-suara yang selama ini bisa jadi tidak terucapkan. Puasa itu sungguh menakjubkan karena memberi hati kepada manusia.” ujar Henny Supolo. [AK]
Siaran ulang acara ini dapat disaksikan pada kanal Youtube Yayasan Cahaya Guru melalui tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=MZw91mR2TuE