
22
Mar 2022
MEMBACA RASA DALAM PERJALANAN KURIKULUM DI INDONESIA
MEMBACA RASA DALAM PERJALANAN KURIKULUM DI INDONESIA
Catatan dari Diskusi dan Refleksi Pendidikan Rasa | Rasa Pendidikan (01)
Dalam Diskusi dan Refleksi Pendidikan Rasa | Rasa Pendidikan yang diselenggarakan Yayasan Cahaya Guru Kamis lalu (17/3), Ifa H. Misbach dari Jabar Masagi mengajak guru-guru untuk merefleksikan rasa dalam perjalanan pendidikan di Indonesia.
"Dari 1947 sampai terakhir kurikulum 2013, sudah sepuluh kali pergantian kurikulum. Pertanyaannya, apakah sepuluh kali itu sudah menjawab pertanyaan: siapa saya? mengapa saya ditempatkan di bumi nusantara? Bukankah pendidikan semestinya menjawab hal itu?"
Menurutnya, di masa awal, fokus kurikulum tidak menekankan pada orientasi kognitif, melainkan pendidikan watak serta kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Pengaruh Ki Hadjar Dewantara juga cukup kuat dengan memasukkan pancawardhana atau cipta, rasa, karsa, karya, dan moral dalam pendidikan. Setidaknya ini tampak pada kurikulum 1947, 1952, dan 1964.
Di masa Orde Baru (kurikulum 1968, 1975, 1984, 1994), pancawardhana ini ditinggalkan seiring dengan orientasi pembangunanisme yang condong pada penyiapan tenaga kerja industri. Mata pelajaran makin padat, pelajaran eksakta menjadi dominan dan secara tidak langsung memiskinkan seni.
"Kalau kata pak Alex Tilaar dan pak Daoed Joesoef, pada masa ini pendidikan bersifat sentralistik dan menyeragamkan gagasan pusat ke daerah sehingga sulit diaplikasikan," jelas Ifa.
Pada tahun 2000-an, terjadi desentralisasi melalui Otonomi Daerah. Pada saat yang sama, kita mulai ikut berbagai standar-standar internasional seperti OECD dan PISA. Rangking bontot membuat kita berkecil hati.
"Banyak yang ingin kita kejar. Ke atas kita belum kuat, sementara ke bawah, kita tidak mengakar."
Kembali pada refleksi perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia dan pertanyaan tentang diri, Ifa memgajukan pertanyaan sekaligus mengajak kembali mengakar, "Mengapa tidak kembali ke jatidiri dan menggali kearifan kita dulu?" [GS]