
Reportase Webinar Pendidikan Rasa
Kamis, 17 Maret 2022
“Usaha pendidikan ditujukan kepada halusnya budi, cerdasnya otak, sehatnya badan. Ketiga usaha itu akan menjadikan lengkap dan larasnya hidup manusia.”, Ki Hadjar Dewantara.
Kutipan di atas mengingatkan kita bahwa tujuan pendidikan hakikatnya adalah anak yang bahagia dan selamat. Pendidikan seyogyanya menyokong kodrat anak agar mengembangkan hidup lahir batin. Usaha pendidikan yang sebetulnya kita upayakan, akan menjadikan anak-anak tumbuh secara utuh, lengkap, selaras dalam menjalani hidup dengan manusia lain dan semesta.
Sebagai seorang pendidik, guru sepatutnya memberikan teladan yang baik bagi peserta didiknya. Tugas mulia guru bukan hanya memberikan pengajaran sebagai transfer pengetahuan semata. Namun dibalik tugas tersebut, guru juga perlu memiliki kemampuan memahami kebutuhan peserta didiknya. Guru perlu berefleksi mengapa saya hadir di tengah-tengah murid.
Pentingnya Hening dalam Mengolah Rasa
Henny Supolo ketua Yayasan Cahaya Guru dalam Diskusi dan Refleksi Pendidikan Rasa | Rasa Pendidikan, Kamis, 17 Maret 2022 menyampaikan, “Dalam hening kita bisa menjawab pertanyaan ‘mengapa kita berada saat ini?’. Pada saat kita hening, kita menangkap ungkapan yang mungkin tidak berani kita dengar, hening mengajarkan kita untuk bertanya dengan tepat pada anak yang membutuhkan, hening akan membantu kita melatih diri menunggu jawaban karena setiap anak memiliki waktunya masing-masing”. Menurut Henny, pendidikan rasa sangat dibutuhkan bagi guru dalam menghayati peran yang diembannya. Guru yang memiliki rasa mampu merasakan pengalaman batin saat mengalami sesuatu, disitulah sebetulnya ke-orangtua-an dan ke-guru-an kita berada.
Proses mengolah rasa dapat dilakukan dengan kesenian. Melalui kesadaran pada diri sendiri untuk meningkatkan rasa, kepekaan, kecintaan, kemanusiaan begitu penting untuk kita pegang sebagai jawaban kita hadir di dunia ini. Pembelajaran dengan memasukan seni di dalamnya, akan melekatkan hubungan guru dan peserta didik. Misalnya bernyanyi di tengah-tengah proses pembelajaran.
Pengalaman memasukan seni pernah dialami Dhitta Puti Sarasvati, pendidik dari Jaringan Pendidikan Alternatif. Perempuan yang akrab disapa Puti ini bernyanyi bersama kegiatan pelatihan bersama guru-guru. Saat itu, guru-guru menunjukkan kelekatannya dengan apa yang disampaikan dalam pelatihan.
“Jadi kuncinya, selalu memasukan estetika, membangun ruang perjumpaan, menjalin hubungan yang harmonis dan setara dalam mengembangkan pendidikan rasa baik secara personal maupun sosial”, ungkap Putti.
Pendidikan Rasa, Lama Terpinggirkan
Pendidikan yang mengedepankan rasa memang telah lama terpinggirkan. Apalagi dengan adanya otonomi daerah yang mulai mengikuti rangking-rangking internasional. Kegelisahan ini sudah disuarakan oleh para pegiat pendidikan seperti Alex Tilaar dan Daud Jusuf. Tidak berbeda dengan pegiat pendidikan lain, Jabar Masagi sebuah lembaga masyarakat yang bergerak dalam pendidikan di Jawa Barat juga memberikan perhatian terhadap pendidikan rasa. Hal ini disampaikan Ifa H. Misbach selaku pengelola program Jabar Masagi dalam sesi diskusi webinar. Dalam programnya, membaca rasa diolah dalam pendidikan karakter Jabar Masagi dengan melihat konteks kearifan lokal yang ada. Warisan yang terus melekat dari guru, terutama pendidik perempuan Jawa Barat.
“Dalam konteks Jawa Barat, Dewi Sartika, Lasminingrat, Siti Jenab dalam kurun waktu bersamaan mengutarakan keresahan yang sama, yang berkaitan dengan pentingnya literasi dan atau pendidikan bagi karakter bangsa.”, jelas Ifa. Contoh project based learning yang pernah diberikan Jabar Masagi adalah salah satu siswa ABK yang diapresiasi kekuatannya menyiapkan makanan di rumah dalam membantu ibunya. Menurut Ifa kemampuan yang dimiliki siswa nantinya akan berguna pada saat anak hidup mandiri.
Orang Tua perlu mendukung Pendidikan Rasa di Sekolah
Di tengah-tengah masyarakat kita, orang tua kerap menganggap pendidikan anak tuntas manakala berhasil menyelesaikan tugasnya dengan menunjukan nilai akademis yang baik. Padahal orang tua juga perlu mengedepankan rasa dalam menemani anaknya. Kondisi ini ditanggapi Henny Supolo saat diskusi, “Penekanan akademis sebetulnya kurang dibutuhkan, karena yang dibutuhkan adalah saat ini kita ada di mana dan perlu sejauh mana untuk mencapai tujuan. Jadi mau tidak mau kita perlu membantu orang tua mengkomunikasikan dengan jelas sama-sama mengenal anak, saat ini anak sudah sampai mana, perlu berapa langkah untuk mencapai tujuan.“
Di akhir acara, para narasumber memberikan kalimat penutup tentang Pendidikan Rasa. Henny Supolo menyampaikan bahwa pendidikan rasa adalah satu bagian yang sangat penting, karena dalam pendidikan rasa, kemanusiaan adalah kata kuncinya. Berbicara kemanusiaan akan lebih mudah menjawab pertanyaan yang ada di benak kita. Ifa H. Misbach mengingatkan guru untuk terus bahagia, agar kebahagiaan tersebut dapat menular pada anak didiknya. Sedangkan Dhitta Puti Sarasvati menyampaikan pentingnya kepekaan dalam mengasah rasa baik sebagai pendidik maupun peserta didik.
Nah kawan-kawan guru, bagaimana kawan-kawan guru mengelola rasa dalam proses pembelajaran yang dilakukan? Kami yakin kawan-kawan guru hadir untuk murid-muridnya, mari kita hening sejenak, bertanya kepada diri sendiri, apakah kita benar benar ada untuk murid kita, atau murid kita merasa kita hilang. [AK]