02
Mar 2022
Keragaman dalam Kearifan Lokal
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 

Keragaman merupakan realitas keseharian kita, sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan bangsa. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita mengenali, mengelola, dan merawat keragaman agar menjadi kekayaan bersama di bumi Nusantara. Satu di antara sumber acuan untuk melakukan hal tersebut adalah berjumpa dan mempelajari kearifan lokal tentang hidup bersama dalam perbedaan.

Dalam perjumpaan dengan guru-guru dari beragam wilayah, Yayasan Cahaya Guru belajar dan mendokumentasikan kearifan lokal yang dapat menjadi modalitas untuk mengelola dan merawat keragaman di Nusantara.

Jawa: Tepa Selira

Kabeh manungso kudu nduweni tepo seliro marang wong liyo. Tepa Selira merupakan filosofi masyarakat Jawa. Filosofi ini mengajarkan untuk peka terhadap perasaan orang lain, menghargai keberadaan dan hak orang lain, mengedepankan toleransi, dan siap untuk membantu bilamana perlu. Tepa selira membantu masyarakat Jawa untuk menciptakan interaksi yang hangat dalam masyarakat dan hidup dalam kerukunan.

 

Sunda, Jawa Barat: Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh

Masyarakat Sunda di Jawa Barat mengenal konsep silih asah, silih asuh, silih asih. Secara umum, silih asah berarti saling memintarkan atau bekerja sama sehingga potensi terbaik setiap orang bisa muncul. Silih asih berarti saling mengasihi atau menyayangi, dalam silih asih ini juga ada sifat tenggang rasa. Silih asuh berarti saling memelihara yang dapat juga berarti merawat kehidupan bersama.

 

Bali: Tri Hita Karana

Masyarakat Hindu Bali mengenal konsep tri hita karana atau tiga penyebab kebahagiaan. Konsep ini mengajarkan harmoni atau keselarasan hidup manusia yang mendatangkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu hadir bila manusia hidup dalam harmoni dengan Sang Pencipta, harmoni dengan sesama manusia, dan harmoni dengan lingkungan serta alam semesta.

 

Minangkabau, Sumatra Barat: Lampu urang usah dipadami, lampu awak nan dipatarang

Pepatah Minangkabau ini mengibaratkan relasi antarmanusia sebagai pelita atau sumber cahaya. Barih adat ini mengingatkan untuk tidak perlu mematikan sumber cahaya orang lain, cukup cahaya sendiri saja yang dibuat lebih terang. Ini merupakan anjuran untuk tidak merusak atau menyakiti orang lain, bersaing secara sehat, serta memperkuat kapasitas diri tanpa mencelakakan orang lain. Barih adat ini bila didalami sangat membantu kita untuk mawas diri dan bertenggang rasa pada sesama. 

Bugis, Sulawesi Selatan: Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi

Dalam masyarakat suku Bugis dikenal falsafah sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi. Sipakatau berarti memanusiakan manusia dengan saling menghargai, menghormati, berbuat santun, dan tidak membeda-bedakan. Sipakainge berarti saling mengingatkan karena tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Sipakelebbi berarti memuliakan atau memperlakukan manusia dengan baik dan layak, saling menghormati, dan peduli. Memanusiakan, saling mengingatkan, dan memuliakan. Indah sekali bukan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Nusantara untuk mengelola hidup bersama dalam keragaman?

Gowa, Sulawesi Selatan: Siri' na Pacce

Dalam masyarakat suku Gowa, siri' dapat diartikan sebagai rasa malu bila melakukan sesuatu yang tidak pantas atau tidak manusiawi. Sedangkan pacce berarti belas kasihan atau iba yang menggerakkan solidaritas untuk saling membantu di masa kemalangan. Siri' dan pacce, berjalan beriringan. Siri' na pacce mengingatkan kita semua untuk menjunjung harkat dan martabat sebagai manusia dengan memperlakukan manusia lain dengan hormat sebagai bagian dari rasa hormat pada diri sendiri. Siri' na pacce juga mengajak kita semua bersolidaritas dan tenggang rasa pada sesama.

Minahasa, Sulawesi Utara: Si Tou Timou Tumou Tou

Si tou timou tumou tou merupakan falsafah orang Minahasa. Secara harfiah berarti manusia yang dilahirkan dan hidup adalah manusia yang mampu mandiri dan bertanggung jawab dan memiliki tugas untuk memanusiakan manusia. Falsafah ini mengajarkan setiap orang bertanggung jawab pada kehidupannya dan ikut bertanggung jawab pada kehidupan di sekitarnya. Dari falsafah inilah berbagai budaya kerukunan dan tolong-menolong dalam masyarakat Minahasa mewujud.

Sawai, Maluku: Hapuama

Masyarakat Negeri Sawai di Pulau Seram, Maluku mengenal falsafah Hapuama. Hapuama berarti merangkul atau memeluk. Falsafah ini merupakan pengingat bagi masyarakat Negeri Sawai untuk tetap bersatu dalam keragaman, dan tidak saling meninggalkan di kala susah atau di kala banyak tantangan menghadang.

Maluku: Pela Gandong

Masyarakat Maluku memegang teguh budaya Pela Gandong. Pela berarti ikatan persaudaraan, umumnya dilakukan antara satu negeri dengan satu atau beberapa negeri lainnya. Pela berarti berbuat sesuatu untuk kebersamaan kita. Mereka yang mengangkat janji pela bertekad menjadi saudara sekandung yang saling membantu satu sama lain. Ikatan pela tidak terbatas waktu, ia terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Gandong berarti (se)kandung. Sapaan sekaligus tradisi di Maluku yang menggambarkan semangat persaudaraan.

Fakfak, Papua: Ko on kno mi mbi du qpona

Masyarakat Fakfak menjunjung tinggi falsafah satu tungku tiga batu. Falsafah yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat suku besar Mbahham Matta Wuh Fakfak. Tungku melambangkan kehidupan. Tiga batu melambangkan "aku", "kau", "dia". Tepatnya disebut “Ko, on, kno mi mbi du Qpona” yang artinya adalah kau, saya dengan dia bersaudara. Falsafah inilah yang membuat kerukunan di Fakfak selalu terpelihara baik, terlepas dari perbedaan adat, agama ataupun relasi-relasi sosial lainnya.

Semua ini tentu hanya sebagian kecil saja dari kearifan lokal yang ada di Indonesia. Guru-guru dapat menggali lebih jauh dalam akar budaya masing-masing dan saling menguatkan dalam keragaman. Kearifan lokal yang ada di Indonesia juga membuktikan bahwasanya masyarakat kita adalah masyarakat yang ramah dan saling menerima. [GS]

Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.