19
Jan 2022
Bedah Buku Guru Bacarita: Narasi Damai dari Maluku untuk Indonesia
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 

Rabu, 19 Januari 2022 — Bersama Dinas Pendidikan dan Lingkar Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak Maluku (LAPAN), Yayasan Cahaya Guru (YCG) didukung oleh Insight Investment Management (IIM) menyelenggarakan sesi bedah buku secara daring bertajuk “Guru Bacarita: Narasi Damai dari Maluku untuk Indonesia”.

Sesi yang diangkat dari judul buku yang sama tersebut memuat penggalan kisah para guru yang menjadi penyintak konflik Maluku 1999-2004. Namun demikian, pesan yang ingin disampaikan dalam pertemuan ini ialah narasi-narasi damai yang telah ditulis para guru di Maluku. Tentu tidak mudah, menghadirkan kembali tragedi dalam ingatan. Untuk itu, sampai saat ini Maluku menjadi laboratorium perdamaian yang menjadi satu diantara sumber belajar YCG.

Muhammad Mukhlisin, moderator dari kegiatan ini mengundang Ibu Parmiyani, guru mata pelajaran agama Hindu yang juga menjadi penyintas konflik untuk memimpin doa. Sebagaimana pembiasaan yang ditumbuhkan YCG, pengarusutamaan agama dan kepercayaan yang jarang diberikan ruang, atau berdoa secara bergantian agama dan kepercayaan, menjadi langkah dalam membuka ruang perjumpaan.

Membuka sesi, Frederick Taso - Kepala Dinas Pendidikan kota Ambon menguatkan praktik baik guru-guru di Maluku yang berlandaskan pada Pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, yang berbicara mengenai pentingnya pendidikan yang diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. 

Dengan mengadaptasi nilai tersebut, kurikulum Basudara menjadi cerminan guru-guru di Maluku dalam memaknai kearifan Pela Gandong serta Hapueama sebagai bagian dari kegiatan belajar mengajar. Buku Guru Bacarita yang akan dibacakan penggalan kisahkan dalam sesi ini, menjadi wadah bagi penguatan guru-guru yang bisa menginspirasi satu sama lain.

Sebelum membacakan penggalan buku, George Sicilia sebagai koordinator yang menemani guru-guru menulis buku Guru Bacarita menceritakan proses hingga terbitnya buku tersebut.

Penulisan buku diinisiasi oleh pertemuan YCG pada tahun 2018 dengan guru-guru di Ambon dalam rangkaian pelatihan guru. Saat itu para guru mengutarakan apa yang dialaminya ketika masa konflik, tentu tidak mudah menghadirkan kembali ingatan masa dan pasca konflik. Sicil mengutarakan bahwa YCG bukan ahli konflik, namun yang dilakukan adalah mendengarkan cerita kawan-kawan guru. Konflik Maluku 1999-2004 memiliki banyak versi, buku Guru Bacarita menggambarkan apa yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat, terutama guru yang kerap dilanda kebingungan mengenai apa yang sebenarnya terjadi. 

Dengan kata lain, dalam buku Guru Bacarita, guru-guru di Maluku meminjamkan mata, telinga, dan hati mereka kepada pembaca, penggalan kisah pun dibacakan oleh empat kawan guru dalam sesi ini. 

Selanjutnya, sesi Pela Gandong dan Narasi Damai dari Pulau Maluku dilakukan melalui pembacaan penggalan buku yang sarat akan pesan perdamaian.

Penggalan pertama dibacakan oleh Henny Liklilwatik (SMPN 9 Lateri). Henny membacakan penggalan perjuangan para guru ketika pecah konflik Ambon 1999-2004, di mana keselamatan mereka menjadi konsekuensi yang menyisakan tanda tanya hingga saat ini, “apa yang sebenarnya terjadi”.

Berikutnya, penggalan kisah dibacakan oleh Muh. Yusuf (SMPN 4 Salahutu). Yusuf mengisahkan bagaimana K.H. Hassanusi mengenang kebaikan saudara mereka dari Amahusu (negeri Kristen) dalam pembangunan Masjid Al-Fattah. Bersamaan itu, masjid menjadi ruang publik dalam melayani orang Ambon saat itu ketika pecah konflik, lintas agama dan suku. Secara personal, K.H. Hassanusi bukan tanpa duka, ia kehilangan putranya dalam konflik. Kehilangan seperti dialami beliau milik semua orang Ambon saat itu, K. H. Hassanusi merangkul sesama penyintas agar tidak ikut terprovokasi kebencian yang dilandasi perbedaan agama sebagaimana terjadi kala itu. Sampai saat ini, Masjid Al-Fattah menyimpan kisah perdamaian yang terus dihidupkan dengan tetap menjadikan masjid sebagai ruang publik.

Kisah ketiga datang dari negeri Sawai, penggalannya dibacakan oleh Laila Dwitari Tuasikal yang akrab disapa Tari. Tari mengisahkan bagaimana Sawai mencegah konflik masuk ke Sawai. Tari mengisahkan bagaimana perangkat desa mendorong terutama pemuda kala itu untuk bergabung, baik itu saudara dari Masihulan (negeri Kristen) atau sebaliknya dari Sawai (negeri Islam), sama sama mencegah konflik dengan tidak terprovokator oleh narasi kebencian. Guru-guru di Sawai merangkul semua anak yang harus “dipulangkan” karena konflik di Ambon.

Terakhir, kisah para guru penyintas konflik Maluku 1999-2004 pembawa pesan perdamaian disampaikan oleh Muh. Fadli dari SMA Garuda Cendekia. Tidak seperti ketiga guru pembaca penggalan kisah sebelumnya, Fadli mewakili pembaca yang tidak pernah terpapar oleh konflik Maluku 1999-2004, internalisasi Fadli terhadap penggalan tulisan keempat dari buku Guru Bacarita melengkapi penuturan sebagian isi dari buku. 

Fadli mengisahkan penggalan ingatan Pak Aju dan Pak Hermias. Mereka sama-sama penyintas konflik yang bertemu kembali sebagai sesama rekan guru di sekolah yang sama, setelah dulu Pak Aju sebagai seorang siswa SMA menolong Pak Hermias yang saat itu duduk di kelas 5 SD. Sama seperti kisah perdamaian di tengah konflik yang dihadirkan dalam buku ini lainnya, Pak Hermias kecil saat itu adalah seorang Kristen sementara Pak Aju Islam, keduanya saling membantu di tengah pecahnya konflik atas dasar perbedaan agama. 

Menyambung penggalan kisah yang telah dibacakan oleh para guru, Ust. Arsal Tuasikal, seorang penyintas konflik Maluku 1999-2004, menguatkan pesan damai dengan mengamini apa yang disuarakan guru-guru dalam buku Guru Bacarita. Ia mengungkapkan bagaimana kebaikan sesama saudara di Ambon terasa kental hingga saat ini, dan Masjid Al-Fattah tetap menjaga warisan perdamaian sebagaimana terjadi pada saat pecahnya Konflik Ambon 1999-2004 hingga saat ini. “Kualitas khutbah diseleksi untuk menjaga alpanya narasi kebencian yang bisa memecah kedamaian” ungkap Ust. Arsal.

Ia juga menguatkan peran para guru yang hadir dalam pertemuan, “Tugas kita menyebarkan sebaik mungkin kasih sayang dari Tuhan YME, sehingga yang dirasakan anak-anak kita bahwa keragaman adalah keniscayaan, dunia ini tidak akan harmonis jika seragam. Penting untuk meneladankan sejarah kebaikan. Perlu diingat bahwa dalam sejarah 1999 situasi tidak normal, saat itu saja orang bisa menumbuhkan kebaikan, apalagi dalam situasi yang lebih baik seperti sekarang” tukas Ust. Arsal. 

Tak hanya empat contoh penggalan kisah yang dibacakan oleh para guru, Bu Min, guru dari SDN 245 Maluku Tengah juga menghadirkan kisah diri dan kawan-kawannya sesama penyintas Konflik Ambon 1999-2004 di Masohi. Bu Min mengungkapkan syukur atas kebaikan tetangganya yang Kristen yang telah menampung keluarganya yang Islam ketika konflik terjadi. Meski pada akhirnya harus berpisah, kebaikan mereka terdengar begitu melekat pada diri Bu Min. Keberanian Bu Min dalam mengungkapkan pengalaman buruk di masa konflik disertai penguatan oleh para guru dan peserta yang hadir dalam sesi. Hal Serupa diutarakan oleh Louise Clara dari SD Inpres 42 Ambon serta Joice Sumeanak dari LAPAN Maluku.

Selanjutnya, sebelum menutup pertemuan, Catharina Muliana, Itjen Kemendikbud Ristek RI menguatkan kisah yang telah disampaikan guru-guru dalam buku Guru Bacarita. Seolah menjawab kisah yang menyisakan tanda tanya bagi guru-guru penyintas konflik, menurutnya, peristiwa-peristiwa kecil memantik perpecahan yang mengerikan itu sangat memungkinkan “ditunggangi” pihak lain yang lebih besar.

Ia teringat, saat itu tahun 2000-an ketika dirinya menjadi Jaksa, ia mendapat laporan tentang konflik Ambon 1999-2004, isinya laporan tersebut mengingatkan pada buku  Guru Bacarita yang dibacanya. Catharina menambahkan, saat itu laporan-laporan yang masuk melalui radio juga sama-sama menyuarakan pentingnya nilai pela gandong dan hapuama bagi kedamaian masyarakat Maluku saat itu, sebagaimana dikisahkan oleh guru-guru dalam buku.

“Adanya perang Majapahit sudah menyatukan kita semua, DNA kita menyatu, buku ini hadir sebagai penyejuk. Beberapa waktu lalu, isu keragaman ini sempat muncul kembali. Latar belakang agama dan suku bukan menjadi lagi hal yang patut diperdebatkan” ungkap Catharina. Seolah memahami residu yang mungkin terjadi pasca konflik, Catharina menguatkan para guru agar melandasi Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 4 UU Sisdiknas sebagaimana kerap disuarakan oleh Yayasan Cahaya Guru.

 

Menutup perjumpaan, Henny Supolo Ketua Yayasan Cahaya Guru mengungkapkan rasa syukurnya atas kebaikan guru-guru di Maluku dengan berbagi kisah yang tidak mudah untuk dihadirkan kembali. Henny menguatkan bahwa kisah serupa, dengan kebaikan yang sama penting disuarakan guru-guru lain sesuai dengan kearifan lokal di daerahnya masing-masing. [CCA]

Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.