
Upaya Guru-Guru Maluku Menyemai Benih Perdamaian
Resensi Buku Guru Bacarita: Narasi Damai dari Maluku untuk Indonesia
Oleh: Muhammad Mukhlisin (Manajer Program Yayasan Cahaya Guru)
“Kita yang Muslim, tahun 1999 itu baru selesai Idul Fitri. Kebetulan yang konflik itu Batumerah dan Mardika, itu sebelum kita lahir lagi sudah sering terjadi konflik antara mereka dengan mereka. Tetangga dengan tetangga. Tapi kita tidak tahu bagaimana itu jadi seperti apa, coba cari informasi, rupanya sudah merebak di semua tempat. Kita mau kemana ini? itu yang terpikirkan.” Demikian ungkap salah satu guru, menceritakan kejadian konflik Maluku pada tahun 1999.
Guru lain mengungkapkan hal berbeda. “Pemicu awal perkelahian seorang pemuda dan pemudi angkutan umum yang berbeda agama.” Guru lain mendengar kabar berbeda lagi. “Pertikaian antara Acang (orang Islam) dan Obeth (orang Kristen).” Demikianlah beberapa petikan cerita para guru dalam buku Guru Bacarita: Narasi Damai dari Maluku untuk Indonesia. Ada beragam cerita penyebab konflik terjadi.
Namun yang pasti, konflik terasa pahit dan getir. “Menang jadi arang, kalah jadi abu” demikian tutur Baihajar Tualeka, Ketua Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku saat berkunjung ke Yayasan Cahaya Guru (YCG), pada awal 2017.
Buku ini merupakan catatan YCG bersama para guru di Maluku melalui program Guru Bacarita. Meskipun tidak mudah menceritakan kembali luka lama, namun inisiatif membangun perdamaian para guru, sekolah, dan dinas pendidikan patut dijadikan pelajaran.
Buku setebal 100 halaman ini terdiri dari dua bagian. Pertama, narasi damai dari Maluku, menceritakan apa yang para guru lihat, dengar, dan rasakan saat terjadi konflik. Lalu, upaya-upaya baik seperti pela pendidikan antara SMPN 9 Lateri dan SMPN 4 Salahutu, pengembangan kurikulum orang basudara, serta menghidupkan kembali kearifan lokal Maluku seperti ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng tabage dua, kai wai (kakak adik), dll.
Bagian kedua, menceritakan praktik baik kepala sekolah, guru, warga dan tetua adat dalam mempertahankan kedamaian di Teluk Sawai. Para guru merawat ratusan anak yang dititipkan orangtuanya. Melalui kearifan Hapuama negeri cantik di utara pulau seram ini mampu terhindar dari konflik. Sebuah cerita penuh makna, yang mungkin belum pernah kita dengar sebelumnya.
Buku yang disusun oleh Sicillia Leiwakabessy dan kontributor tim fasilitator YCG ini menghadirkan cerita penuh makna. Bagaimana guru dan insan pendidikan berkontribusi besar dalam proses perdamaian pasca konflik. Seperti yang ditulis oleh Baihajar Tualeka dalam kata pengantarnya. “Ruang berbagi dalam konteks Guru Bacarita merupakan upaya menemukan kembali sumber kekuatan dari dalam diri sendiri dan dari sesama teman saat merefleksikan perjalanan dari situasi sulit konflik Maluku ke momen bakudapa. Guru Bacarita memotret ruang perjumpaan lintas agama dalam menata masa depan yang lebih baik. Ini menjadi sumber-sumber harapan dalam meretas sekat yang pernah ada dan kembali merajut semangat orang basudara.”
Terakhir, penulis mengajak para pembaca untuk menikmati buku ini sambil melihat praktik baik pendidikan yang ada di sekitar. Untuk mendapatkan buku ini dalam bentuk soft filenya silakan mengisi form berikut: https://forms.gle/f2FUZ2snN6rt66YN6
Terima kasih dan selamat membaca.