
MELACAK KERAGAMAN AGAMA/KEPERCAYAAN UNTUK KEHIDUPAN INDONESIA YANG LEBIH BAIK
Indonesia - “Kekuatan dan Tantangan dalam Keragaman” menjadi tajuk kegiatan Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) 2020 Seri-5 pada sabtu pagi (06/06/2020). Febionesta (Paralegal YLBHI) menjadi teman belajar para guru dalam kesempatan itu, adapun pemandu acara dalam kegiatan kali itu adalah Guru Yulinda salah seorang alumni SGK 2017.
Febionesta membuka kegiatan dengan terlebih dahulu mengajak kawan-kawan guru melacak agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, kawan-kawan guru bekerja secara kelompok untuk mengembangkan sisi pandang tentang keragaman agama dan kepercayaan yang ada. Hasil pelacakan kawan-kawan guru sangat menarik, sedikitnya ditemukan 17 agama dan kepercayaan, namun ada kelompok yang menemukan hingga 50 lebih agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
“Saya yakin kalau misalnya pemahaman tentang agama atau kepercayaan semua guru seperti ini, masalah keragaman yang ada di Indonesia akan selesai” tandas Febionesta saat melihat hasil temuan kawan-kawan guru. Temuan kawan-kawan guru menjadi pintu masuk pertanyaan, “apakah benar hanya ada enam agama resmi/diakui di Indonesia?”.
Febionesta mengajak kawan-kawan guru menilik praktek birokrasi yang menjadi dasar mengapa ada pemahaman “agama resmi/diakui” hadir dengan, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 477/74054 Tanggal 18 Nopember 1978 Tentang Peruntukan Pengisian Kolom Agama. Setelah melihat salah satu penyebab, Febionesta mengajak kawan-kawan untuk melihat beberapa fakta menarik tentang rujukan tersebut.
Pertama, agama dan keyakinan/kepercayaan yang dianut di Indonesia tidak terbatas pada enam agama. Kedua, UUD 1945 menjadi kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan. Undang-undang Nomor. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama tidak menyatakan enam agama resmi/diakui. Undang-undang ini hanya menyebutkan 6 agama yang dipeluk sebagian besar penduduk Indonesia dan tidak melarang agama yang lain. Ketiga, Mahkamah Konstitusi Memutuskan bahwa Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak membatasi pengakuan hanya pada enam agama, akan tetapi mengakui semua agama yang dianut rakyat Indonesia.
Tentu banyak diskusi dan pertanyaan yang disampaikan oleh kawan-kawan guru SGK 2020, waktu 2 jam terasa begitu singkat saat diskusi makin menghangat. Akan tetapi, kawan-kawan guru mencoba memaknai keragaman dalam peluang yang harus diraih, untuk persatuan, kerjasama, kemajuan, pembangunan, dan kemanusiaan.
“Kita ketahui bahwa tantangan keragaman itu ada disekitar kita, yang dapat melahirkan diskriminasi, konflik atau lainnya. Satu diantara penyebabnya adalah miskonsepsi agama resmi, hal ini yang melahirkan prasangka, stigma, diskriminasi, intoleransi, dan pembatasan yang tidak sah. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap?, Tentu harus menghormati keragaman agama dan kepercayaan yang kita tahu jumlahnya bukan hanya enam, mungkin lebih dari 50 agama atau kepercayaan, apabila kita terus menggali perbedaan dan keragaman yang ada di masyarakat. Dan kaidah emas dari pelbagai agama, yang intinya bagaimana kita memperlakukan orang lain, sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Adalah kunci dari semua persoalan keragaman dan ia adalah kekuatan yang ada di setiap agama dan keyakinan kita”, tutup Febionesta dalam diskusi bersama kawan-kawan guru. (FI/FA)