
Dayton, sebuah kota kecil yang kusam di Tennessee, menjadi saksi bisu sebuah pertaruhan terhadap “kebebasan”. Pada suatu pagi, dengan langkah-langkah angkuh, tiga orang petugas dan seorang pendeta Kristiani menyantroni sebuah kelas pada sekolah menengah di kota tersebut. Tujuannya hanya satu: menangkap John Scopes yang sedang mengajar biologi, tetapi dengan materi yang menyimpang dari kurikulum resmi. Ia memperkenalkan teori evolusi Charles Darwin, yang tidak saja bertentangan dengan Undang-Undang Negara Bagian Tennessee, tetapi juga dianggap melecehkan Kitab Injil yang suci dan meracuni iman para siswa. Oleh sebab itu, pada bulan Juli 1925, guru muda itu ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah oleh hakim. Sebuah tragedi telah terjadi, dan yang menjadi korbannya bukanlah guru ataupun siswa, tetapi ruh “kebebasan”. Yang membuatnya ironis, peristiwa itu bukan terjadi di sebuah Negara Theokrasi seperti Vatikan, tetapi justru di Amerika Serikat yang telah menjadi laboratorium demokrasi selama lebih dari dua abad dan begitu gigih menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan. Yang lebih mengenaskan, itu semua bermula dari sebuah institusi yang bernama sekolah, yang semestinya mampu memerdekakan fikiran dan jiwa manusia, bukan mengekangnya dengan beberapa carik instrumen yang disebut dengan “kurikulum”.
Dalam pandangan punjangga India seperti Rabrindranath Tagore, sekolah juga tidak memberikan harapan apapun. Bahkan ia menyebutkan masa sekolah yang dilaluinya sebagai “siksaan tak tertahankan”. Karena itu, ia memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya dengan cara berhenti sekolah pada usianya yang masih belia, 13 tahun. Keputusan “pahit” itulah yang ternyata kemudian menghantarkannya untuk mendapatkan hadiah Nobel Kesusastraan. “Sering aku menghitung tahun- tahun yang harus aku jalani, sebelum memperoleh kemerdekaan. Betapa aku menginginkan untuk dapat melintasi masa-masa sekolah yang menghadang itu, dan dengan semacam sihir gaib, serta merta menjadi orang dewasa”, kenang Tagore dengan penuh kegetiran di kemudian hari.
Kisah muram juga dialami oleh sang maestro Thomas Edison, yang terpaksa cuma mencicipi bangku sekolah selama beberapa bulan. Ia dipandang tidak cukup layak untuk bergabung lebih lama pada sebuah “institusi agung” bernama sekolah, yang hanya disediakan untuk anak-anak normal. Ia pun dikeluarkan dengan tidak hormat. Tetapi rupanya, dari sinilah Edison mulai menorehkan tinta emas dalam lembaran-lembaran sejarah hidupnya. Ibunda tercintanya telah membekali dengan sayap-sayap perkasa yang memungkinkan Edison kecil terbang bebas mengeksplorasi berbagai hal, melintasi sekat-sekat yang diciptakan sekolah. Dengan bekal itulah, ia menghasilkan 1093 penemuan baru yang sangat berguna bagi umat manusia, sebelum usianya mencapai 35 tahun. Pertanyaannya kemudian adalah: “apa yang akan terjadi pada Edison seandainya ia bertahan menjadi siswa di sekolah, sebuah institusi pendidikan yang energinya terkuras hanya untuk mengurusi tata tertib dan kurikulum?” Mungkin ia akan menjadi sosok manusia yang namanya tidak begitu penting untuk ditorehkan dalam lembaran sejarah umat manusia.
Demikianlah sekelumit gambaran muram dan pesimis mengenai sekolah, sehingga tidak mengherankan jika tokoh seperti Ivan Illich pun menyerukan Deschooling Society, agar masyarakat terbebas dari sekolah. Sekolah, dalam pemikirannya, tidak hanya sekedar belenggu, tetapi sudah menjadi semacam candu yang membuat kita terbuai.
Benarkah sebegitu muramnya wajah sekolah, sebuah institusi di mana sejuta cita dan harapan putra-putri anak bangsa digantungkan tinggi-tinggi? Bagaimana pula wajah masyarakat dan kebudayaaannya tanpa lembaga ini? Bukankah sekolah dibangun untuk mempersiapkan generasi muda dalam menyongsong masa depan agar lebih baik? Coba amati dengan bijak! Bukankah setiap pagi jutaan anak mengayunkan langkah penuh gelora dan asa menuju sekolah (sebelum terjadi pandemic virus corona), sebuah gerbong yang akan membawa mereka dari era pra- sejarah menuju peradaban modern, dari gua kebodohan ke horison pencerahan? Sejarah telah mencatat, sedikit atau pun banyak, di negeri ini sekolah telah berperan melahirkan tokoh-tokoh sekaliber: Syahrir, Agus Salim, Sukarno, Hatta, Natsir dan lainnya, yang terbang bersama cita-citanya mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka telah memilih untuk menumpangi gerbong itu. Dan mereka berhasil!
Pada suatu ketika, seorang ayah dengan bangga dan penuh harap bertutur kepada anaknya saat pertama kali si sulung itu pamit pergi ke sekolah: “Sejak nenek dari nenekmu, tak pernah berusaha untuk sekolah. Kaulah yang mengawalinya anakku….” Itu sebuah gambaran nyata, bagaimanapun banyak cacat yang dijumpai pada institusi sekolah, tetap saja ia menjadi simbol harapan yang membumbung tinggi.
Mengritisi Konsep Pembelajaran Jarak Jauh
Tahun 2020 ini, dengan merebaknya pandemi Corona Virus Disease (Covid- 19) peran institusi sekolah juga kembali digugat oleh keadaan. Dalam rangka mencegah virus semakin menular ke banyak pihak, beberapa negara termasuk Indonesia membatasi mobilitas dan aktivitas masyarakat, termasuk menghentikan pembelajaran reguler yang mengumpulkan peserta didik di suatu lokasi yaitu sekolah. Sekolah menjadi “lumpuh”, tanpa aktivitas sepeti biasanya. “The End of Schooll”, mungkin itu yang terlintas pada sebagian benak orang yang selama ini tidak percaya pada institusi ini.
Menyikapi dinamika ini, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan program yang disebut sebagai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jika kita cermati dengan kritis, konsep PJJ ini sangat bertentangan dengan apa yang diagungkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim sebelumnya, yaitu tentang Merdeka Belajar. Pembelajaran Jarak Jauh masih menekankan pada paradigma sekolah sebagai sumber belajar, pusat ilmu pengetahuan, mata air kearifan yang harus diakses oleh peserta didik dari rumah, dan para guru sebagai aktor-aktor kunci yang harus melakukan pengajaran yang juga dengan jarak jauh. Padahal justru sekarang mependulumnya bergeser, pusat kegiatan bukan lagi di sekolah, tetapi di rumah.
Proses pembelajaran seharusnya berpusat pada diri anak, sehingga seharusnya terminologi yang lebih tepat adalah Merdeka Belajar atau Pembelajaran Mandiri. Kekeliruan filosofis yang diturunkan dari Kementrian ke seluruh aparatus dibawahnya, mulai dari para kepala dinas, pengawas, kepala sekolah hingga ke para guru inilah yang menyebabkan proses pembelajaran dilakukan mirip seperti semula, ada jadwal pelajaran tatap muka, jadwal istirahat, jadwal pertemuan dengan wali kelas, ulangan harian, perbaikan nilai, dan seterusnya. Yang membedakannya adalah proses ini sekarang dilakukan dari jarak jauh, berbasis teknologi komunikasi dan informasi, dengan tidak mempertimbangkan sama sekali kondisi anak didik yang berada di daerah pedalaman yang tidak memiliki semua kemewahan tersebut. Jadi esensinya tidak berubah, sekolah masih dianggap sebagai institusi agung dan guru tetap dipuja sebagai aktor kunci dan para “santo” yang akan menentukan hitam putihnya masa depan peserta didik. Bagi saya, ini adalah serangkaian kekeliruan yang sempurna secara paradigmatik yang berimplikasi pada kesalahan pelaksanaan teknis yang memicu banyak permasalahan di lapangan.
Saya tidak punya kewenangan dan kapasistas untuk menawarkan solusi teknis dalam memperbaiki kondisi darurat yang entah sampai kapan akan berakhir. Namun saya akan memberikan beberapa catatan yang perlu diperhatikan agar konsep Merdeka Belajar saat ini bisa dilaksanakan dengan baik, memanfaatkan momentum pandemi dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di banyak wilayah di Indonesia.
Pertama, sekolah bukanlah pusat ilmu. Ilmu tidak berpusat pada lembaga - lembaga pendidikan seperti sekolah ataupun universitas. Ia merambah melintasi batas-batas apapun. Seperti halnya pikiran manusia, ilmu tidak terbelenggu ruang dan waktu. Kita tidak hanya bisa menggali ilmu dan kearifan di ruang kelas atau pun laboratorium, tetapi juga di rumah, masyarakat, jalan raya, hutan belantara, lautan luas, bahkan di dalam penjara sekalipun. Bukankah 14 abad yang lalu, nabi Muhammad menganjurkan umatnya agar terus menuntut ilmu, sekalipun ke negeri Cina? Sekolah hanyalah tempat persemaian benih-benih “kegelisahan” dan “keingintahuan”. Dengan bekal inilah hasrat anak-anak untuk selalu bereksplorasi akan bergelora seperti badai tsunami yang tak akan terbendung oleh kekuatan dan kondisi apapun.
Yang kedua, guru sejenius Einstein sekalipun, bukanlah gudang ilmu dan sumber kebajikan, yang siap menuangkannya ke dalam relung-relung jiwa peserta didik. Guru, meminjam istilah Socrates (2400 tahun yang lalu), hanyalah bidan yang bertugas membantu proses kelahiran sang guru sejati bagi anak, yaitu hati nuraninya, karena itulah percikan cahaya Illahi. Pemahaman dan kearifan yang sesungguhnya tidak bisa didoktrinkan dari pihak lain. Ia harus muncul dari dalam diri sendiri. Dengan demikian yang seharusnya dikembangkan bukanlah kurikulum berbasis kompetensi dan Pembelajaran Jarak Jauh, tetapi kurikulum berbasis akal sehat dan hati nurani yang jernih, serta “Pembelajaran dari Dalam Diri”.
Yang ketiga, kurikulum dan fasilitas modern memang penting, tetapi bukan yang paling utama. Yang esensial adalah suasana yang memberi pengayoman dan memungkinkan terjadinya proses pendewasaa fisik, mental, intelektual dan spritual peserta didik. Seperti halnya kita sedang bertamu, bukan kemewahan rumah dan kelezatan makanan yang dihidangkan yang membuat kita merasa betah, tetapi karena suasana dan keramahan si tuan rumah. Kurikulum dan fasilitas boleh berganti setiap tahun, tetapi esensi pendidikan tetap kukuh sepanjang masa, yaitu memerdekakan dan mendewasakan manusia. Apabila sekolah sudah mampu menjadi tempat bernaung yang nyaman bagi segenap penghuni di dalammnya, maka ia akan selalu dirindukan dan diingat oleh para lulusannya sebagai masa-masa yang indah, tidak lagi dikenang dengan penuh kegetiran sebagaimana yang dialami sang pujangga Rabrindranath Tagore. Mudah-mudahan kepahitan Scopes, Tagore dan Edison, hanya sebagai lembaran sejarah masa lalu dan tak terulang dimasa datang.