
Kemerdekaan Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
Sadar, Bro
Indonesia adalah negara tercinta kita. Kaya oleh pelbagai hal, seni budaya, suku bangsa, bahasa, flora, dan fauna. Yang gak kalah terkenal adalah korupsinya. Banyak sekali wakil rakyat yang gemar korupsi. Tidak hanya pejabat tinggi negara, tapi pejabat selevel lurah pun terkena virus pengikis ekonomi negara. Bahkan kita gak sadar bahwa segala yang telah kita lakukan mengandung unsur korupsi. Jadi kita perlu kegiatan pelatihan antikorupsi. Karena sejak dulu masalah yang tidak kelar adalah korupsi. Sadar bro!
(oleh M.Nabil Fadhlila - Hikari Class)
Sekola Tanpa Gedung Sekolah
Tulisan murid itu begitu tajam. Ketajaman kata-kata mencerminkan proses pelajaran yang tak mengekang, milik Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) di daerah Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Kita tak pernah membayangkan ada sekolah tanpa pagar, tiang bendera, bel, gedung sekolah, bahkan tanpa plang yang menunjukan adanya sekolah. Akan tetapi itulah yang terjadi. Sebuah komunitas belajar yang mengusung ide pendidikan alternatif muncul dan mengagetkan dunia pendidikan kita yang carut marut ini. Gaungnya tidak hanya bergema di negeri ini namun sudah mendunia.
Semua bermula dari keresahan mengenai mahalnya biaya pendidikan. Situasi yang mendorong Pak Bahruddin, penggagas sekaligus penggerak model pendidikan alternatif di Salatiga untuk membangun pendidikan berbasis komunitas. Sekolah yang awalnya menampung 12 siswa setingkat SMP ini dinamai Qaryah Thayyibah yang berarti Desa milik Allah yang dilimpahi keberkahan. “Anak-anak desa jangan lagi dipaksa berjarak dengan kehidupan desanya, jangan lagi dipaksa memunggungi desa dan lautnya, dipaksa menghadap dan mengikuti Jakarta yang merumuskan dan menyeragamkan standar kompetensi anak-anak Indonesia,” tegas Pak Bahruddin.
“Saya mulai dengan anak sendiri, lalu saya ajak tetangga. Ada yang mau dan bisa. Banyak sebenarnya yang saya ajak, ada 30-an anak yang punya anak tamat SD/Madrasah Ibtidaiyah mau masuk SMP/Tsanawiyah, itulah yang saya kumpulkan. Kami berdiskusi untuk menawarkan gagasan saya bikin sekolah sendiri. Sebagian besar menolah. Ada 12 yang mau.”
“Dahulu rumah saya sudah ada internet, sejak awal terkoneksi karena teman saya direktur penyedia layanan internet, dikasih gratisan. Tidak ada satu pun di Salatiga, sekolah yang punya koneksi unlimited, keren banget sebuah komunitas yang ada koneksi wireless-nya. Bagi saya itu sudah segalanya, diimbangi dengan proses memerdekakan. Anak-anak hanya jadi objek namun sebagai subjek juga yang belajar.”
Di sini, siswa tidak dipatok harus belajar sesuai kurikulum sekolah formal. Si anak sedang ingin belajar apa, saat itulah ia mencari sendiri materi pelajaran yang ingin diketahuinya. Juga kalau ia ingin mencari teman diskusi tentang suatu hal. Anak diajak memilih sendiri minat mereka, sehingga lebih fokus menekuninya, dan belajarnya juga langsung dari kehidupan nyata.
SMP Alternatif yang Berprestasi
Pak Bahruddin mengadopsi kurikulum SMP umum bagi sekolahnya. Ia menyatakan tidak sanggup menyusun kurikulum sendiri, lagi pula sekolah akan diakui berkualitas jika memperoleh nilai baik dan mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah. Karena itulah ia memilih format SMP Terbuka, namun ia mengubah kecenderungan SMP Terbuka bukan sekedar lembaga yang membagikan ijazah, dengan serius mengelola pendidikannya.
Sekolah itu menempati dua ruangan di rumah pak Bahruddin, yang sebelumnya digunakan untuk Sekretariat Organisasi Tani Qaryah Thayyibah. Jumlah guru yang mengajar sembilan orang, semuanya lulusan Institut Agama Islam Negeri dan sebagian besar para petani aktivis. Guru pelajaran matematikanya seorang lulusan SMA yang kini mondok di pesantren. Sedangkan akses internet gratis 24 jam diperoleh dari temannya, seorang pengusaha yang mendukung gagasannya. Dengan modal seadanya sekolah itu berjalan.
Ternyata tidak butuh waktu lama bagi sekolah alternatif itu untuk diakui keberadaannya. Nilai rata-rata ulangan murid-muridnya jauh lebih baik daripada nilai rata-rata sekolah induknya, terutama untuk Matematika dan bahasa Inggris. Sekolah tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri dalam lomba cerdas cermat di Salatiga. Sekolah mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar mandiri tingkat provinsi, dikirim mewakili Salatiga dalam Konferensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes kenaikan kelas satu, nilai rata-rata bahasa Inggris siswa KBQT mencapai 8,86.
Belajar Sesuai Kebutuhan, Berbasis Lingkungan
Pendidikan alternatif yang digagas Pak Bahruddin merupakan konsep yang ia kembangkan sendiri berdasarkan pengalaman dan buku-buku yang dibacanya. Prinsip dasarnya adalah memberi kebebasan pada siswa untuk belajar apa pun yang mereka sukai. Guru (di QT disebut pendamping) hanya memberi ide atau masukan, apakah nanti akan diterima anak atau tidak, semua dikembalikan ke siswa.
Konsepnya mirip homeschooling, namun ada beberapa hal yang membedakan. Pertama, homeschooling masih memiliki kurikulum dan mata pelajaran yang harus dipelajari siswa, sedang di KBQT tidak ada acuan mata pelajaran. Semua siswa bebas menentukan apa yang ingin mereka pelajari. Kedua, pelaksanaan homeschooling sering dikritik membatasi interaksi anak dengan orang lain. Sedangkan di KQBT, lingkungan sekitar dan masyarakatnya adalah sekolah bagi siswa, jadi model pendidikan alternatif dijamin tidak akan mengasingkan siswa dari lingkungan, justru mendorong siswa terlibat aktif di lingkungannya.
Karena berbasis lingkungan pula, siswa KQBT diharap mampu menjawab permasalahan yang dihadapi lingkungan tempat mereka berada. “Ada seorang warga yang mengeluh pada anaknya, kalau sekarang ini mau makan yang bergizi harganya serba mahal. Lalu anaknya membawa permasalahan itu ke sekolah, anak-anak berdiskusi dan munculah ide membuat peternakan belut. Anak-anak pun belajar tentang budidaya belut, bersama-sama mereka praktik membudidayakannya,” cerita Bahruddin.
Kemandirian Belajar
Pendidikan alternatif yang diusung KQBT sebenarnya mendidik anak agar mandiri dalam belajar. Ini hal penting yang justru sering tidak kita dapatkan di dunia pendidikan kita. Anak-anak yang pergi ke sekolah setiap pagi bukan dengan niat murni menuntut ilmu, sampai di sekolah pun anak memposisikan diri sebagai “wadah” yang siap menerima apa pun yang diberikan guru. Padahal hakikatnya, anak bukanlah tempat kosong yang tidak berisi apa-apa. Anak-anak itu sudah memiliki bekal yang dapat mendorong mereka belajar, misalnya pengalaman, informasi dari televisi, buku maupun dari tempat lain.
“Anak harus diberi kesempatan seluas-luasnya memegang peran, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan harus melibatkan anak dalam porsi yang sesungguhnya, bukan basa-basi saja. Anak harus mulai diajak berpikir tentang potensi, sumber daya dan persoalan lokal hingga bagaimana mereka merancang dan menentukan masa depannya. Guru, pendamping masyarakat dan dinas terkait adalah tim besar yang berposisi sebagai fasilitator bagi terselenggaranya pendidikan untuk anak,” tegas Pak Bahruddin.
Simak cerita Ikhwan (19), salah seorang lulusan KQBT “aku memang dari awal suka musik. Aku belajar sendiri dari internet dan download video-video musik. Terus aku mau belajar gitar, belajarnya dengan cari di internet, aku coba-coba sendiri sampai bisa. Terus kalau bikin lagu, aku punya teman yang bisa buat lagu, ya aku belajar sama temanku itu, kadang kami mendatangkan guru juga. Pas mau rekaman juga gitu. Aku ikut teman atau lihat Pak De yang memang pemusik, gimana caranya rekaman. Lihat di studio, aku pelajari dan aku bawa ke sini untuk dipelajari sama-sama.”
Hal menarik yang bisa kita lihat di KQBT, anak terbiasa belajar mandiri. Bayangkan, jika selama 6 tahun mereka dilatih untuk memilih, merumuskan sendiri (atau bersama teman) materi yang mereka pelajari, dan menyiapkan segala macam perangkat yang dibutuhkan untuk belajar, bisa dipastikan setelah lulus sekolah, tidak akan kesulitan terus belajar meski sudah tidak berada di lingkungan sekolah.
Kreatif Berkat Dibebaskan
“Cara belajar di sini lebih bebas, dirancang anak-anak sendiri. Kami mencoba membalik yang selama ini konsumtif, pasif, menjadi produktif dan aktif. Selama ini anak-anak itu diasumsikan harus “dipintarkan”. Anak-anak datang dan tidak diberikan penghargaan kepercayaan, dan diajar seperti kamu harus mengikuti pelajaran ini. Anak-anak jadi objek bentukan. Kami membalik itu. Anak kami asumsikan sebagai manusia yang punya nalar berpikir dan kemauan.”
“Setiap Senin, misalnya, anak datang ke sekolah, kami wajibkan menulis sebuah ide apapun, misalnya ‘meja ini sebaiknya……’ ada kata kunci ‘sebaiknya.’ Sampai saya ngomong ke anak-anak, kalian lihat rambut Pak De ini kok bosen yo, terus apa ide kalian, dan itu harus dituliskan ide-ide itu bebas pokoknya. Jadi nanti ide itu dikembangkan. Anak-anak itu aktif dan produktif tidak konsumtif dan pasif. Kami hargai juga keresahannya. Jadi itu latihan tradisi pendidikan kritis. Melihat sesuatu bukan sebagai kebenaran akhir, tetapi memungkinkan untuk upaya-upaya inovasi. Tidak ada kompetisi paling pintar. Semuanya sama dan punya hak,” papar Pak Baharuddin.
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah resmi terdaftar sebagai SMP Terbuka, sekolah yang sering diasosiasikan sebagai sekolah penampung orang-orang miskin agar bisa mengikuti program wajib belajar sembilan tahun. Namun, siswa-siswi SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sangat mencintai dan bangga dengan sekolahnya. Pukul 6 dini hari sekolah sudah mulai dan berakhir pukul 13.30. Anehnya jam sekolah itu terasa sangat pendek bagi para murid sehingga setelah makan siang mereka biasanya kembali lagi. Mereka belajar sambil bermain di sekolah hingga malam hari, bahkan tak jarang mereka menginap.
Murid-murid SMP Qaryah Thayyibah memang sangat menikmati proses belajar mereka. Bersekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Guru bukanlah penguasa kelas, tapi teman belajar. Mereka bebas berbicara dengan guru dalam bahasa Jawa ngoko, strata bahasa yang hanya pantas dengan kawan akrab sebaya. Di kelas mereka juga sangat bebas. Mereka bisa asyik mengerjakan soal-soal Matematika dengan bersenda gurau, ada yang mengerjakan soal sambil bersenandung, yang lain bermain monopoli. Suasana bermain itu bahkan di Taman Kanak-Kanak pun kini makin langka. Sebagian khalayak berpikir bahwa untuk berprestasi, anak harus diberikan pengarahan ketat, diikutkan berbagai les dengan jadwal yang padat. Hal ini dipatahkan KQBT. Ketiadaan jadwal pelajaran, guru, gedung sekolah, laboratorium justru mendorong para siswa untuk kreatif.
Kebebasan kreativitas tetap menjunjung prinsip musyawarah untuk mufakat, salah satunya terlihat dari penamaan kelas yang dirundingkan secara musyawarah oleh para murid. Berikut kelas-kelas yang mereka namakan sendiri, mewakili semangat dan cita-cita mereka : Seed Education (1 SMP), Rausyan Fikr (2 SMP), Elektrokadiograf (3 SMP), Star Image (1 SMU), Smart Revo (2 SMU), Paradise Of Full Color (3 SMU) dan Universitas Kehidupan Lanjutan SMU.
Nilai-nilai toleransi dipelajari lewat tindakan-tindakan langsung. “Bahwa kita harus menghormati yang minoritas, itu memang kebutuhan, karena manusia saling membutuhkan. Saling mengingatkan itu pembiasaan, itu nilai-nilai itu yang nantinya akan masuk!” tutur Pak Bahruddin. Murid-murid KBQT beragam, sebagian besar Muslim, tapi juga ada pemeluk Kristen dan Katholik. “Anak-anak itu langganan kalau pas Natal, menampilkan teater. Dalam toleransi, yang paling mendasar itu mementingkan aspek keadilan bukan memaksakan perdamaian, tapi mewujudkan keadilan, itu yang paling penting.
“Sekolah Aneh” Pemborong Prestasi
Maia Rosyida sudah menulis 20 buku, usianya baru 18 tahun, Saat mulai bersekolah di KQBT, maia menyampaikan kalau suka menulis. Maka yang dilakukan para pendamping adalah mendukung dan mendorongnya terus menulis. Hasilnya, benar-benar tak terduga, dalam waktu singkat 20 buku berhasil ditulisnya. Sebagian diperbanyak, dijilid dan disebarluaskan sekolah. Sebagian lagi diterbitkan oleh penerbit profesional. Selain itu, Fina, Izza, dan Siti, tiga orang siswa KQBT berhasil menerima penghargaan dari Yayasan Kreatif Indonesia pimpinan Kak Seto Mulyadi. Mereka membuat karya tulis berjudul Haruskah UN Dihapus?
Prestasi mencengangkan tak hanya di dunia buku. Sejumlah karya berupa hasil penelitian, film, musik yang dibuat oleh siswa-siswi KBQT dipuji di sana sini. Semua karya tersebut original dari si anak dengan masukan para pendamping. Beberapa siswa sudah biasa diminta berbicara di depan para pejabat publik, seperti Hilmy (15 tahun) yang diminta berpidato di depan 90 kepala sekolah berprestasi di seluruh Indonesia. Semua karya yang mengagumkan itu bersumber pada prinsip pendidikan yang membebaskan.
Anak-anak KBQT yang usianya masih belasan, sudah bisa membuat film sendiri. Setiap akhir pekan di akhir bulan, ada pemutaran film untuk ditonton ramai-ramai. Kalau film saja dengan mudahnya dihasilkan, apalagi cuma sekedar buku. Karya-karya siswa sudah dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit progresif dari Yogyakarta, LKIS. juga karya-karya para gurunya.
Sekolah ini benar-benar menjadi alternatif bagi dunia pendidikan yang sekarang ini terasa sangat membelenggu. “Tak terhitung sudah sekolah-sekolah formal yang mengunjungi ‘sekolah aneh’ ini untuk menimba ilmu,” tawa Pak Bahruddin. Tak heran, para murid yang semula cuma berasal dari Salatiga dan sekitarnya kini mulai mengirimkan para siswanya. Di sini, mereka tinggal di rumah-rumah penduduk. Soal biaya, orang tua anak sendiri yang merundingkan besarnya “uang pondokan” dengan pemilik rumah yang ditinggali.
Anak-anak Keluarga Sederhana pun Kaya Karya
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah juga maju dalam dunia seni. Seluruh siswa bisa bermain gitar, keterampilan wajib di sekolah itu. Di bawah bimbingan guru musik, Pak Soedjono, anak-anak sekolah bergabung dalam Suara Lintang. Grup musik anak-anak desa kecil itu telah merekam lagu-lagu tradisional anak dalam kaset, MP3, maupun video CD album Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang diproduksi sekaligus untuk pencarian dana.
Anak-anak petani sederhana itu kini masing-masing memiliki sebuah komputer, gitar, sepasang kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, satu paket pelajaran bahasa Inggris BBC di rumahnya. Semua itu tidak digratiskan. Anak-anak memiliki semua itu dengan mengelola uang saku bersama-sama sebesar 3.000 rupiah yang diterima anak dari orang tuanya setiap hari. Uang sebesar 1.000 rupiah digunakan untuk mengangsur pembelian komputer. Untuk sarapan pagi, minum susu, madu, dan makanan kecil tiap hari 1.000 rupiah, sedangkan 1.000 rupiah lainnya ditabung di sekolah. Tabungan sekolah itu dikembalikan untuk keperluan dalam bentuk gitar, kamus, dan lainnya.
Anak-anak dan orangtua mereka bangga dengan sekolah itu. Betapa tidak, di sekolah di desa kecil itu mereka mendapatkan banyak hal yang tidak diperoleh di sekolah-sekolah yang dikelola dengan logika dagang. Ismanto (43 th) menceritakan, dulu anaknya sempat putus asa saat hendak mendaftar ke SMP di Salatiga. Uang masuknya 200.000 rupiah, belum termasuk buku dan seragam. Tidak ada seorang murid pun berjalan kaki ke sekolah selain anaknya, Emi Zubaitu (13 th). Kini Emi Pandai dalam berbagai mata pelajaran, pintar bernyanyi, dan percaya diri. Dulu Ismanto tak pernah membayangkan bisa menyekolahkan Emi. Anak pasangan tukang memperbaiki sofa dan bakul jamu gendong itu kaya berkarya berkat sekolah yang baik.
Sekolah Milenial
“Di sini kami mengutamakan pembentukan forum-forum berdasarkan minat : musik, teater, dan sebagainya. Apa rencana forum tersebut. Targetnya berapa, yang tercapai berapa, begitu seterusnya. Bagi kami, tak ada istilah gagal, yang ada hanyalah pengalaman. Jika capaian tidak terjadi, karena apa? Semua ditulis, misalnya karena ada kesibukan mendadak. Semua anak menulis, tidak boleh copy paste. Guru tinggal melihat. Di sini ada istilah tawasiy/tawashoubi, saling mengingatkan. Guru yang baik itu adalah yang mengetahui keresahan si anak, harapannya, keahliannya, cita-citanya. Guru tidak harus pintar, tapi bisa membimbing anak yang kreatif. Peran guru dan orang tua adalah terlibat dalam proses belajar bersama.”
Menurut Pak Bahruddin, di era Milenial ini, sekolah sebagai tempat refleksi, diskusi dan saling berbagi (tawasiy) antar sesama akan terus dan semakin dibutuhkan. Kalau memposisikan “sekolah” sebagai tempat menuntut (mendapatkan) ilmu (informasi) dan para siswa hanyalah sebagai objek “pemintaran” dan perbaikan “budi pekerti” serta konsumen “ilmu” dan informasi, maka bisa dibilang sedang kembali ke masa silam yang terbelakang. Nyatanya antar sesama dan semua makhluk demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran adalah yang utama.