Melanjutkan pendidikan di SMK Bakti Karya Parigi bagi Anisa UI Amanah, seperti membuka dunia baru. Remaja putri asal Palembang, Sumatera Selatan, yang lahir dan tumbuh di lingkungan homogen ini, mulai berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda. Kesempatan itu menghilangkan prasangka buruknya. “Dulu saya menganggap kalau orang-orang non muslim itu kayak gimana gitu. Tapi sekarang jadi berbeda. Enak bisa berteman dengan teman-teman yang beda agama dan suku. Tadinya takut terpengaruh keyakinannya, ternyata enggak,” cerita gadis 17 tahun itu.

 

Pengalaman Konflik yang Menyatukan

Sekolah tempat Anisa belajar itu bernama SMK Bakti Karya Parigi, terletak di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Sejak lama, Sekolah menengah Kejuruan dibidang multimedia itu menerapkan konsep pendidikan yang mengedepankan keragaman. Murid-muridnya berasal dari beragam suku, agama, dan ras yang datang dari berbagai pulau di Indonesia. Mereka berkumpul mempraktikkan langsung Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu.

Ismail Rumaru, datang dari Ambon, Maluku, daerah yang pernah mengalami konflik antaragama. Ismail melihat betul bagaimana perbedaan agama bisa memicu konflik berkepanjangan. Remaja 14 tahun itu pun sempat memendam marah dan benci terhadap umat Kristiani. “Aku sempat marah. Yang kurasakan waktu itu, cuma karena masalah sepele dibesar-besarkan sampai bawa agama.” Sebelumnya Ismail merasa sulit bergaul dengan teman yang berbeda latar belakang suku dan agama. Pengalaman konflik agama yang pernah dialaminya membuat bungsu dari lima bersaudara itu menjaga jarak dengan teman Kristiani. Namun lambat laun, Ismail mulai mengenal dan menyadari bahwa teman-temannya yang berbeda keyakinan ternyata tidak seburuk yang disangka. “Ternyata asyik juga berteman dengan mereka.” ucap pemuda yang bercita-cita menjadi wartawan ini.

Kekerasan berlatar belakang perbedaan juga dialami Maria Magdalena Hingi Hera. Siswi berusia 16 tahun ini datang dari Larantuka, Flores, yang kerap mengalami kerusuhan antar kampung. Dulu Maria ragu bersekolah di SMK Bakti Karya. Setelah mengetahui sekolah yang dituju berkonsep keragaman, keraguan pun hilang. “Di sini bisa belajar banyak hal, tentang perdamaian, saling menghargai. Sedangkan di kampungku, banyak tawuran antar kampung,” ungkapnya.

Ismail, Maria, dan Anisa, hanya tiga dari 42 murid SMK Bakti Karya yang sedang menjalani program multikultural. Selain mereka, ada siswa yang datang dari Aceh, Kalimantan Utara, dan Jawa Barat. Mereka dikumpulkan untuk saling mengenal dan menghilangkan sekat perbedaan.

 

Ujian-Ujian di Awal Pendirian

Saling mengenal menjadi pelajaran pertama yang diberikan kepada para siswa di sekolah multikultural itu, sebagaimana kata pepatah “tak kenal maka tak sayang,” perkenalan bisa menghilangkan semua prasangka buruk dan menghadirkan pertemanan. “Kita yakin semakin beragam lingkungan seseorang, semakin dia mengenal yang lain, mengenali lalu memahami perbedaan, kemudian menghargai ketika ada orang yang berbeda dengan dirinya,” tanda Ketua Yayasan Darma Bakti Karya, Pak Ai Nurhidayat.

“Dulu saya menganggap untuk saling mengenal saja, tidak mudah. Di awal pelajaran, siswa masih berkumpul berdasarkan daerah asal. Kondisi itu disiasati para guru dengan mengelompokkan mereka secara acak dalam sebuah permainan. Strategi itu berhasil. Contohnya Ismail, awalnya dia bermain berdua dengan Sahrul, yang sama-sama dari Ambon, tapi sekarang dia sudah bermain sama siapa saja,” lanjut pak Ai.

Saat terbit ide untuk menyelenggarakan sekolah khusus, para pendidik di Yayasan Darma Bakti Karya banyak berdiskusi, “Awalnya hanya guyonan saja. Saat itu kami tidak tahu bagaimana mengelola sekolah. Delapan standar pendidikan dan SKL (Standar Kompetensi Lulusan) itu apa saja. Semula belum jelas juga apa maksud istilah multikultur. Saya hanya ingat buku Gus Dur soal multikultur. Lama-lama, istilah itu kami bangun jadi sebuah konsep khusus, lalu tibalah saatnya perekrutan. Saya ingat merekrut relawan terlebih dulu, mencari anak yang membutuhkan akses pendidikan.”

SMK Bakti Karya Parigi dibuka tahun 2011, di tahun berikutnya sekolah resmi beroperasi. Sekolah berada dalam naungan Yayasan Darma Bakti Karya yang berkedudukan di komplek Komunitas Belajar Sabalad dengan menempati tanah wakaf seluas 3660 meter persegi. Tanggal 31 Januari 2015, sekolah resmi terintegrasi dengan Komunitas Belajar Sabalad disertai manajemen baru yang lebih terbuka, dikelola guru-guru muda.

“Kami sempat dituduh tidak enak oleh warga sekitar. Ada orang datang ke rumah, bilang kalau ada yang berantem. Saya tengok memang orang Indonesia Timur ngomongnya seperti itu. Besoknya ada yang berantem beneran. Persoalan teknis, seperti tata letak lemari. Bukan persoalan suku. Saya panggil, saya tanyakan, apakah mereka merasa dihargai warga sini? Mereka mengaku dihargai. Saya minta mereka juga menghargai warga Sunda sekitar. Itulah indahnya keragaman. Sekarang orang Flores sudah seperti orang Sunda,” kisah Pak Ai.

Satu waktu ada oknum yang menyebarkan isu ke 500 DKM (dewan Kemakmuran Masjid). Ada pula yang menculik siswa Muslim untuk diajak “ngaji”. Oknum itu mengundang para Kyai berkumpul, dengan menggunakan kop surat MUI. Ketua MUI setempat tidak mengetahui perbuatannya. Ancaman penculikan para siswa terus dilakukan. Para ulama di desa mulai terpengaruh, meminta siswa Katolik dikembalikan, dan sekolah ditutup. Ketua yayasan sempat disidang di kantor Kabupaten, diseminarkan, dihadapkan tuduhan-tuduhan keras tak berdasar. Untunglah berkat kedekatan ketua yayasan dengan Bupati, tuduhan-tuduhan dan fitnah berhasil diklarifikasi. “Memang hubungan kami dengan Bupati itu baik, bahkan programnya ‘Pangandaran Berkarakter’ itu sebagian dari usul kami!” jelas Pak Ai.

 

Perayaan Agustusan Menjadi Penyelamat

Mulanya program multikultural digagas oleh sekelompok anak muda dalam Komunitas Sabalad. Mereka prihatin dengan kondisi daerahnya yang masih hidup terkungkung. Pak Ai menyebutkan, hanya 10 persen warga Pangandaran yang kuliah. Sebanyak 85 persen tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan sisanya kuliah di daerah pinggiran. “Artinya yang merasakan pergaulan lintas agama, budaya, suku hanya 10 persen, sementara 85 persennya tidak merasakan, mereka tinggal di kampung-kampung dengan kertekungkungannya,” kata Pak Ai yang ikut menggagas program multikultural. 

Kondisi yang menurutnya menyebabkan masyarakat anti dan takut terhadap perbedaan. Sikap yang sempat dialami Pak Ai dan kawan-kawan saat membuka Kelas Multikultural. Warga setempat yang mayoritas Muslim itu sempat menolak kedatangan siswa-siswi luar daerah terutama yang berlatar belakang agama berbeda. “Dulu di sini, karang orang Katolik, Kristen, atau Hindu yang lewat, sekarang tiba-tiba tinggal di sebuah kampung yang agamanya berbeda. Ini menimbulkan reaksi yang cukup keras,” ungkapnya.

Namun perayaan hari kemerdekaan menjadi salah satu penyelamat. Siswa-siswi kelas multikultural dilibatkan dalam kegiatan Agustusan sehingga mereka dikenali warga setempat. Sekat perbedaan pun terbuka. Ada pertandingan main bola, di mana anak-anak dari Ambon dan Flores turun ke lapangan. Masyarakat pun ikut merasa memiliki.

Mengenalkan siswa dari berbagai daerah menjadi tugas yang diembang sekolah, karena masyarakat lah yang akan menjadi pelindung siswa-siswi luar pulau itu untuk belajar dan berinteraksi seraya mengenalkan budaya setempat. Selain Agustusan, siswa-siswi kelas multikultural juga dikenalkan ke murid-murid Sekolah Dasar. Mereka datang mengkampanyekan gerakan membaca. “Sebetulnya tujuannya untuk mengenalkan mereka. Eh, ini berbeda lho dan kalau berbeda pun enggak masalah, asyik kok. Reponsnya juga luar biasa. Orang-orang di SD kaget melihat orang Flores, sampai dikerumuni dimintai foto bareng. Seperti orang asing, padahal sebangsa,” tutur Pak Ai.

 

Pengalaman Pancasila dan Merayakan Perbedaan Bukan Sebatas Teori

Masih panjang perjalanan menuju tujuan yang diharapkan, program multikultural ini baru diterapkan pada bulan Juli 2016, masih ada beberapa prasyarat harus dilalui untuk sampai pada sikap menghargai perbedaan, yakni pengenalan, rasa percaya diri dan aktualisasi diri.

Mengenai kurikulum, sekolah tetap menggunakan kurikulum nasional ditambah 60 materi pokok tentang multikultur. Materi itu mengacu pada lima konsep dasar, yakni penamaan nilai toleransi, semangat : perdamaian, berjaringan, berbudaya dan pelajaran aktif. “Kami sedang menggodok MoU (Memorandum of Understanding) dengan Universitas Atma Jaya yang akan menyusun dan mengevaluasi materi untuk diimplementasikan,” terang Pak Ai.

Sedangkan orang tua terlibat dalam perumusan visi misi dan tujuan sekolah, pengembangan sarana prasarana sekolah, dan pendidikan anaknya. Sekolah menyelenggarakan smart parenting pendidikan bagi orang tua untuk bersama melakukan pendidikan kepada peserta didik. Orang tua sebagai media penghubung antara visi sekolah dengan masyarakat lain yang tidak terhubung secara langsung dengan program sekolah.

Kepala sekolah SMK Bakti Karya Parigi, Irpan menjelaskan bahwa 60 materi multikulturalisme bukan pelajaran terpisah tapi masuk dalam setiap mata pelajaran yang ada. Irpan berharap, pengamalan Pancasila dan menghargai keragaman tidak lagi sebatas teori, tapi telah menjadi sikap hidup anak didiknya. Karena itu, kehadiran siswa-siswi dari berbagai latar belakang ditujukan agar teori tentang keragaman bisa langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. “Untuk merayakan dan merumuskan perbedaan itu, bukan sebatas teori, tapi bisa diwujudkan. Ketika ada satu konflik, setiap individu tidak menjadi problem maker tetapi problem solver,” kata Pak Irpan.

Pak Irpan menyebutkan salah satu contoh implementasi dari kelas multikultural di dunia nyata adalah saat para murid mencoba ‘menyembuhkan’ seorang siswa yang kesurupan. “Murid yang kesurupan ini beragama Islam, tapi yang mengobati justru temannya yang beragama Kristen,” tuturnya tertawa. Pak Ai pun bercerita tetang salah satu siswa yang beragama Kristen ikut hadir dalam perayaan Maulid Nabi. “Kelas multikultural ini menghadirkan pengalaman, menyempurnakan imajinasi-imajinasi tentang kebangsaan, sehingga para siswa kita itu kaya, enggak hanya teori tetapi juga pengalaman kebangsaan yang beragam,” ungkap Pak Ai.

 

Membuka Jalan Bagi Kampung Nusantara

Siswa-siswi berlatar belakang berbeda kembali didatangkan dari 10 provinsi di tahun 2017. Komposisi siswa-siswi pun semakin berwarna. Perekrutan calon siswa melibatkan para relawan di media sosial, seperti yang dilakukan sebelumnya. Pak Ai menegaskan, keragaman yang dimaksud, bukan hanya sebatas suku dan agama, tapi juga sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Siswa miskin maupun kaya, katanya akan diterima dengan tangan terbuka dan sama-sama mendapatkan fasilitas gratis.

Bagaimana cara mencari siswa agar kekhasan sekolah tampak sejak awal? Awalnya sekolah hanya menampung tanpa memilih. Baru angkatan berikutnya sekolah memilih karena banyak yang berminat. Tidak ada seleksi akademik. Siswa dari Kalimantan Utara, misalnya, diseleksi dari yang paling membutuhkan. Kemudian tersusunlah ide membangun sebuah kampung yang mengedepankan keragaman. Yayasan mulai mengajak para donatur untuk mengulurkan tangan melalui sebuah situs. Donasi semakin bertambah setelah banyak orang mengunjungi Kampung Nusantara. Semua masuk ke rekening yayasan, untuk memudahkan audit.

Siswa yang berhasil direkrut akan mendapatkan pendidikan dan akomodasi gratis selama bersekolah. Dana berasal dari donatur secara online dari berbagai tempat. Saat ini ada 67 kakak asuh yang rutin menyumbangkan uangnya sebesar 50 ribu hingga 500 ribu rupiah untuk membiayai kebutuhan siswa sebesar 500 ribu per bulan.

Ada 60 indikator capaian multikultur, misalnya menolak kekerasan. Semua guru dan siswa mengetahui garis besarnya. “Selain itu kami juga punya beberapa workshop kecil seperti bahasa Papua, dan lain-lain. Rencana di kampung Nusantara, kalau tahun lalu ada orasi dengan bahasa daerah,” papar Pak Ai, “nanti akan muncul spirit perdamaian. Kalau sudah merasa berharga maka bagaimana mengupayakan perdamaian ditambah satu wawasan ekologi. Harus berkelanjutan dan menghargai lingkungan. Kalau soal perdamaian kami gunakan pelatihan Peace Generation. Semua peserta mengikuti pelatihannya.”

Saat ini ada 58 siswa dari 25 kabupaten/kota dan 11 provinsi, 45 diantaranya beragama islam, 10 katolik dan 3 protestan. Target dalam beberapa tahun ke depan adalah merekrut 150 siswa dari sekurangnya 50 kabupaten/kota. Banyak siswa yang menginap di rumah warga. Sekarang, SMK Bakti Karya Parigi menumbuhkan bibit-bibit penyebarluasan nilai kebaikan untuk skala yang lebih luas. Pada pertengahan Februari 2018, atas inisiatif sekolah dan pemerintah daerah, desa Cintakarya dijadikan teladan dengan diresmikannya Kampung Nusantara oleh Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata.

 

Kampung Nusantara

Dalam proses menjadikan sekolah berwawasan multikultur, kampung di sekitar sekolah pun disulap bernuansa Nusantara. Kampung Nusantara adalah program inisiatif masyarakat yang terintegrasi dengan Kelas Multikultural. Kampung ini mengusung semangat persatuan dalam keragaman. Di kampung ini, relawan dan wisatawan dapat berinteraksi mengikuti kegiatan-kegiatan warga. Rumah warga dicat, digambar dengan konsep daerah tertentu.

“Membuat Kampung Nusantara itu tidak semudah mengecat rumah, banyak persoalan muncul, yang kadang bisa selesai 5 menit tapi harus bikin 3 kali forum. Kami sampaikan ke warga kita tidak perlu mengubah sesuatu. Apa adanya saja. Tidak perlu dibikin kayak hotel. Makanan juga sama apa adanya. Ada anak homeschooling di sana 3 hari, kebiasaan terbawa pulang makannya cuma tahu, tempe, dan ikan peda,” jelas Pak Ai.

Kampung Nusantara menjadi rumah singgah, hotel rakyat, begitu Pak Ai menyebutnya, bagi para pengunjung bahkan wisatawan. Di sini, relawan bisa tinggal berdampingan dengan warga asli, dengan biaya murah. Tarif biasa sekitar 50 ribu rupiah per malam per rumah, langsung diserakhkan ke pemilik. “Kalau mau makan di situ, ditambah 50 ribu rupiah mereka yang masakin. Ada biaya 20 ribu ke panitia Kampung Nusantara, bayar sekali saja, untuk bikin ting sampah atau kegiatan pemberdayaan lain, misal tanam-menanam,” tambahnya.

 

Kelas Profesi dan Splash the Peace

Selain itu sekolah juga memiliki program Kelas Profesi dan Splash the Peace. Program Kelas Profesi merupakan bentuk partisipasi publik, mempertemukan kalangan profesional dengan siswa-siswi kelas multikultural untuk membuka cakrawala pengetahuan, perspektif tentang pandangan dunia, referensi kerja, peningkatan keterampilan, dan membuka peluan jejaring. Program ini berjalan sejak Juli 2016 dan melibatkan lebih dari 80 kalangan profesional. Dilaksanakan setiap Sabtu dengan fasilitas homestay dan layanan volunteerisme, tak hanya menjadi relawan, tapi juga menikmati wisata di Pangandaran.

Ada pula Splash the Peace, kegiatan yang merupakan ekspresi perdamaian sekolah multikultur. Semuanya berbaur untuk saling mengenal, belajar dan menunjukan amal yang tulus. Kegiatan ini mengusung niat untuk menjadi agen perdamaian. Acara ini adalah kerjasama SMK Bakti Karya Parigi, Peace Generation, SPORA, Yayasan Silih Asih, Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia dan Peace Project.

Selain peserta dari 12 provinsi yakni Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Maluku, Papua Barat, Papua, Nusa Tenggara, Jawa Barat, dan Jakarta, ada juga peserta dari Selandia Baru dan Amerika, jumlah keseluruhannya 50 orang. Splash the Peace diikuti juga oleh pengurus Yayasan Dharma Bakti Karya, di antaranya berisi praktik 12 nilai perdamaian, materi-materi tentang keselamatan olahraga air dan pendidikan alternatif, diselingi berbagai permainan dan makan-makan. Tidak hanya di ruang kelas, mereka juga belajar di pinggir pantai, di lapangan dan di Saung Komunitas Belajar Sabalad.

"/>

20
Mar 2020
WARNA-WARNI PERJALANAN MULTIKULTUR SMK BAKTI KARYA PARIGI
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 
Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.