Dalam cerita Mahabharata, Gandari adalah ibu para Kurawa. Ia adalah seorang ibu yang tidak pernah dimuliakan karena berada di pihak yang kalah dan dibenci. Namun, Gandari memberikan pelajaran bagi kita betapa menyakitkannya perang dan kebencian itu. ”Katakan kepada saya, apakah yang paling menyakitkan dari perang? Kekalahan? Atau kebencian?” salah satu petikan dalam opera Gandari.

Opera Gandari diangkat dari puisi-puisi karya Gunawan Mohammad kemudian disutradarai oleh Melati Suryodarmo. Sementara warna musik dalam pertunjukan ini sangat unik, musikalisasi digarap oleh Tony Prabowo. Ia melibatkan 25 ensambel atau kombinasi alat musik dengan konduktor atau pengaba Peter Veale yang datang dari Musikfabrik Jerman. Keindahan dan keragaman alat music sangat kental terasa di pentas ini.

Sabtu, 14 Desember 2019, guru-guru bersama Yayasan Cahaya Guru (YCG) melaksanakan nonton bareng Opera Gandari di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Pentas opera kontemporer Gandari menyuguhkan puisi, iringan musik ”baru”, dan visualisasi tata gerak ketubuhan teatrikal. “Opera Gandari menurut saya memiliki nilai seni tinggi. Narator dan musiknya terasa hening dan fokus. Setiap adegan muncul dengan tampilan yang tak terduga. Saya menyimak secara seksama pertunjukan ini, dan membanggakan sekali, di Indonesia ada pertunjukan asli seperti ini” ucap Yulinda, Guru SMPN 7 Jakarta.

Hal yang senada disampaikan Nur Mukminah, Guru SMA Kemurnian Jakarta. “Saya terkesan dengan tarian meliuk-liuk, menjelaskan ambisi dan penderitaan seorang ibu dan istri” tegasnya.

Manajer Program Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin menyatakan, mengajak guru menonton Opera Gandari merupakan bentuk “menemani guru” . “Sudah saatnya masyarakat menemani para guru, mengajak guru untuk membaca apa yang kita baca, mengajak menonton apa yang kita tonton, dengan begitu kita belajar bersama” tegas Muhammad Mukhlisin. Menurutnya, menonton seni pertunjukan dapat menjadi pintu masuk untuk mengenalkan indahnya keragaman.

[MM]