17
Sep 2018
REFLEKSI GURU BACARITA KEBINEKAAN OLEH BAIHAJAR TUALEKA
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 

oh Maluku tampa beta putus pusaee, pasir putih haluse gunung dan tanjung beta seng bisa lupaeee, Ina-Amaeee lama lawang seng bakudapaeee, biar jauh bagineee tapi tetap di Hati betaeee.

Dari ujung Halmahera sampai Tenggara jauh katong samua basudara. Nusa inaeee katong samua dari sana. Biar jauh bagineee beta seng bisa lupa Maluku Tanah pusak sioh, satu nama satu gandong, satu suku Maluku Maniseee.

Guru bacarita Kebinekaan merupakan cara yang dilakukan dengan mengintegrasikan pemulihan bagi guru-guru SMP di Kota Ambon.  Guru bacarita menghadirkan situasi nyaman, agar proses kegiatan lebih terasa cair dan terbuka bagi para guru untuk menceritakan pengalaman pahit yang pernah dialami. Pengalaman guru dalam menghadapi situasi konflik sosial di tahun 1999-2004 memberikan dampak negatif. Di mana konflik telah meruntuhkan nilai kemanusiaan, serta membuat kehidupan menjadi sulit.

Konflik berdampak buruk pada masyarakat, seperti kehilangan harta benda, lapangan pekerjaan, teman, sahabat, kerabat, juga keluarga. Lebih pelik lagi hidup dalam pengungsian  merupakan mimpi buruk, yang mana tempat tersebut tidak ada ruang privasi sama sekali, apalagi masyarakat hidup dalam keadaan segregasi yang akut. Sebagian besar guru mengalami peristiwa pahit. Merasakan dan menyaksikan, bahkan terjebak dalam kerumunan massa saat konflik terjadi.

Ruang berbagi dalam konteks guru bacarita, merupakan upaya pemulihan dan penguatan untuk menemukan kembali sumber-sumber kekuatan dari dalam diri para guru. Ruang ini sebagai refleksi perjalanan, untuk mengubah situasi sulit yang pernah dihadapi juga dirasakan menjadi sebuah kekuatan.

Guru bacarita kebinekaan memotret kembali ruang perjumpaan lintas agama untuk menata masa depan yang lebih baik. Memetakan kekuatan bersama, dan sumber-sumber harapan tanpa sekat dalam kehidupan nan harmoni, sebagai bagian kehidupan masyarakat Maluku yang memiliki kekayaan dan keragaman budaya.

Situasi sulit yang dihadapi tak lantas membuat para guru larut, para guru memilih bangkit dan menginisiasi kegiatan untuk memperbaiki relasi sosial dan bina damai pada sektor pendidikan formal. Kegiatan tak hanya dilakukan dalam lembaga pendidikan formal, namun dalam kehidupan bermasyarakat para guru berperan aktif merawat perdamaian, memperluas ruang-ruang interaksi sosial, agar kohesi sosial yang rapuh dan terkoyak dapat pulih kembali.

Kegiatan pemulihan dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan seni, budaya, olahraga, serta perayaan hari-hari besar keagamaan. Kegiatan terkait dengan psikoedukasi pun dilakukan untuk pengembangan masyarakat secara berkala.

Hadir pula tantangan dari para guru, yang kehilangan rasa kepercayaan pada orang lain, mau tidak mau hal tersebut berdampak pada kehidupan relasi sosial, sulit berinteraksi karena adanya trauma, sekalipun dengan teman seagama. Kondisi tersebut diperkuat dengan kurangnya ruang perjumpaan inklusif untuk bakudapa dan bacarita, oleh karena itu perlu ada peningkatan  dan bacarita agar dapat mempercepat perbaikan kohesi sosial yang rusak. 

Bila segregasi dibiarkan begitu saja akan timbul gesekan, kecurigaan dan persoalan baru dalam relasi sosial masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat mayoritas yang tersegregasi dapat memicu ketegangan, saling curigai berlebihan dan fanatisme agama. Gesekan-gesekan dalam komunitas bukan tidak mungkin hadirkan konflik kembali, apabila itu terjadi maka masyarakat akan lebih terpinggirkan dan tidak memiliki harapan.

Guru bacarita kebinekaan mendorong guru-guru untuk merefleksi pengalaman para guru dalam kehidupan orang basudara. Keragaman budaya orang Maluku adalah kekuatan lokal juga aset yang perlu untuk dilestarikan. Seperti hubungan kekerabatan pela dan gandong, sebuah persekutuan atau persaudaraan dari kehidupan sosial orang basudara.

Perjanjian persaudaraan semacam pela gandong perlu diinisiasi bersama, sehingga masyarakat dapat berinteraksi untuk memperbaiki hubungan, mendorong kehidupan yang harmonis, saling menghormati, menghargai, melindungi, juga saling bekerjasama.

Guru bacarita kebinekaan memotret pengalaman guru tentang kondisi saat ini, terutama dalam mengembangkan kurikulum pendidikan dengan mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal. Rata-rata guru bercerita tentang perayaan hari-hari besar keagamaan yang dirayakan secara bersama dengan siswa.

Kegiatan perayaan hari besar keagamaan pada lembaga pendidik formal, merupakan upaya membangun kembali nilai-nilai toleransi, guna menjembatani proses penyemaian perdamaian dalam bingkai kehidupan orang basudara.

Dihadirkan pula pengenalan nilai-nilai kearifan lokal bagi siswa melalui kurikulum pendidikan, sehingga anak-anak dapat mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sosial bermasyarakat, sehingga dapat lahir generasi baru Maluku yang lebih baik.

Harapan jangka panjang anak-anak tersebut, dapat menjadi tumbuh menjadi agen perdamaian dan agen transformasi sosial yang memiliki nilai-nilai kepekaan sosial, saling hargai dan menghormati dalam konteks keragaman.

Potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng dibagi dua,

ale rasa beta rasa katong dari  Maluku.

Back
2018© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.