
Tak ada yang tak mengakui bahwa peristiwa konflik sosial 1999-2004 di Maluku meninggalkan luka dan trauma yang mendalam. Susah, sengsara, takut, sedih, juga kehilangan harta benda dan orang-orang terkasih. Membicarakan semua ini tentu tak mudah, seperti mengorek luka lama yang tak ingin terulang walau sebatas ingatan. Tetapi Yayasan Cahaya Guru (YCG) Jakarta, Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Ambon dan didukung oleh The Asia Foundation (TAF) membicarakannya bersama para guru SMP dalam acara Guru Bacarita:Kebinekaan dalam Kearifan Lokal yang berlangsung di SMPN 9 Ambon, Senin (13/8).
Kegiatan ini tidak berhenti sekadar mengakui rasa sakit karena Maluku memiliki segudang kearifan untuk pulih, punya hal-hal baik yang jadi modalitas untuk tak berlama-lama hidup dalam keterpurukan. Inisiatif-inisiatif damai pun muncul dari ruang-ruang kelas. Pendidikan tak sekadar agar siswa berprestasi tapi juga agar mereka siap hidup dan menjawab tantangan sosial kemasyarakatan. Sebagian besar inisiatif yang muncul erat kaitannya dengan kearifan-kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat Maluku terutama sikap hidup orang basodara.
Narasi-narasi damai ini didokumentasikan dan akan diolah oleh Yayasan Cahaya Guru dan LAPPAN untuk menjadi sumber belajar guru-guru dimana pun berada. Maka hati pun rasa hangat, sehangat jabat erat saat nyanyikan Gandong seolah ingin mengatakan, “Cukup kami saja. Tak perlu tempat lain di Indonesia alami konflik dulu baru mengerti arti manisnya hidup orang basodara.”
Guru Bacaritaadalah upaya untuk menjadikan pengalaman guru-guru di Ambon sebagai sumber belajar yang menguatkan dirinya sekaligus menjadi inspirasi bagi guru-guru lain. Acara ini menjadi ruang perjumpaan para guru dari berbagai latar belakang untuk berbagi cerita pengalaman mereka menyintas konflik sosial di Maluku pada 1999-2004 dan inisiatif-inisiatif damai yang dilakukan sekolah demi masa depan anak. Pendekatan yang digunakan adalah ‘bacarita’ untuk memberi ruang seluas-luasnya bagi para guru menjadi sumber belajar satu sama lain.Saatnya kini guru menjadi rujukan keragaman, kebangsaan dan kemanusiaan.